Derap Nusantara

Waspadai Tipu Muslihat "Dokter AI" di Media Sosial

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Kecerdasan buatan untuk kesehatan.

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, JAKARTA - Ratnawi (65) tergopoh-gopoh mendatangi anak keduanya Evi (34) yang baru saja menjejakkan kaki di pintu rumah. Tak butuh lama bagi Ratnawi untuk sampai ke tempat anak keduanya yang bekerja di salah satu pabrik sepatu di kawasan Tangerang.

“Lihat ini! Ini ada obat diabetes terbaru,” seru Ratnawi sembari menyodorkan ponselnya pada Evi.

Sudah sejak 5 tahun terakhir Ratnawi menderita diabetes tipe dua yang membuat tubuhnya melemah dan geraknya menjadi terbatas. Maka tak heran, ia sangat berharap penyakit yang menghinggapinya sejak 5 tahun terakhir tersebut dapat enyah secepatnya dari tubuhnya.

Layar ponsel menunjukkan video dengan sosok yang tak asing lagi bagi masyarakat, yakni jurnalis Najwa Shihab yang mewawancarai mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Dalam video tersebut, Najwa Shihab menyebut bahwa seorang dokter asal Indonesia telah menaklukkan diabetes dengan efektivitas obatnya mencapai 98 persen dan sebanyak 70.000 orang telah disembuhkan kapsul.

Dokter Terawan Agus Putranto yang di video itu dipanggil dengan nama dokter Agus Putranto itu, menjawab bahwa obat itu dua kali lebih efektif dari obat sejenisnya dan dalam 4 minggu tidak ada gejala diabetes yang tersisa dan hanya membutuhkan konsultasi secara online.

Video dengan logo salah satu tv swasta di sudut kanan tersebut diunggah oleh akun Facebook Medikal opinion. Video itu juga dilengkapi teks pendek dengan huruf kapital berbunyi “Semua penderita diabetes mengalami pembusukan dari dalam dan meninggal dalam penderitaan”. Akun tersebut juga menyediakan tautan untuk pembelian kapsul tersebut.

Rasanya mustahil seorang yang memiliki nama besar seperti Najwa Shihab dan Terawan ikut-ikutan “jualan obat” di platform media sosial. Bahkan jika diteliti lebih lanjut, gerak bibir Najwa Shihab dan Terawan tidaklah sama dengan suaranya.

Mungkin kita masih ingat bagaimana seorang Presiden Joko Widodo tiba-tiba dapat berpidato dengan menggunakan bahasa Mandarin dengan fasih. Teknologi kecerdasan buatan memungkinkan terciptanya deepfake, yang digunakan untuk membuat foto, audio, video hoaks yang dapat meyakinkan penggunanya.

Bisa dipastikan bahwa video tersebut merupakan konten yang dibuat oleh kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang memungkinkan hal itu bisa terwujud. Dengan teknologi Google Reverse Image yang bisa mencari gambar yang beredar di internet, bisa diketahui bahwa potongan video tersebut berasal dari video Program Mata Najwa yang diunggah 4 tahun yang lalu yang berjudul “Menangkal Corona - Menkes Terawan: Virus Corona Ringan, Hoaksnya Berat”.

Najwa Shihab dan Terawan tak sendiri. Video mantan Menkes Siti Fadilah Supari juga pernah dimanfaatkan pihak tertentu untuk mempromosikan produk kesehatan. Modusnya pun sama, menggunakan teknologi AI untuk sulih suara atau dikenal dengan deepfake.

Bisa jadi masyarakat yang menderita penyakit tertentu dengan mudah terkecoh. Apalagi yang sudah menderita penyakit menahun, kehadiran para “dokter-dokter AI” yang mempromosikan produk kesehatan tertentu ibarat “angin surga”.

Perkembangan teknologi AI pun tak luput dimanfaatkan untuk membelokkan informasi atau yang dikenal dengan istilah gangguan informasi. Wardle dan Derakhstan (2017) dan Ehrenfeld dan Barton (2019) membagi tiga jenis kekacauan informasi yakni misinformasi, disinformasi, dan malainformasi.

Apa yang membedakan ketiganya terletak pada niat. Misinformasi memiliki makna ketika informasi palsu dibagikan tetapi tidak bermaksud merugikan. Sama seperti misinformasi, disinformasi merupakan berita palsu yang dibagikan secara sengaja tapi bermaksud untuk menyebabkan kerugian. Kita mengenalnya sebagai hoaks.

Sementara malainformasi asli dibagikan untuk menyebabkan kerugian, sering kali dengan memindahkan informasi yang dirancang untuk tetap pribadi ke ruang publik.

Media sosial sebagai sarana untuk untuk membuat dan membagikan konten serta mengatur secara kolektif, menurut Albu dan Etter (2020), menjadi medium yang efektif dalam penyebaran gangguan informasi. Berbeda dengan produk jurnalistik yang menerapkan disiplin verifikasi ketat, konten di media sosial tak semuanya menerapkan disiplin verifikasi dan dapat dipertanggungjawabkan.

Halaman
12