Hal ini diwujudkannya dengan berkontribusi menjadi mantri saat sudah menjadi polisi.
Dari rumah ke rumah kala itu, ia datang memeriksa pasien yang sakit hingga menyunat anak laki-laki secara gratis dengan kemampuannya.
Tak hanya itu, meski disibukkan dengan berbagai agenda instansi, Kompol Surahman kerap terlibat dalam kegiatan adat di kampungnya Wakatobi.
Nilai budaya dan adat dipegang teguhnya, terlebih dengan gelar kebangsawanan sebagai seorang La Ode.
"Nilai adat ini harus terus dilestarikan karena kalau bukan kita siapa lagi yang akan melanjutkan," katanya.
Ia memaknainya dengan sebuah perumpamaan penting dan menjadi prinsip hidup yang turut ditanamkan pada anak-anaknya.
"Lebih baik Tapa (tanpa) Agama daripada Tapa Adati. Karena nilai agama kita bisa belajar dari mana saja, tapi kalau adat susah belajarnya selain melestarikan apa yang sudah. Apalagi setiap daerah itu punya keunikan dan tradisinya masing-masing," jelasnya.
Saat mengemban tugas menjadi seorang polisi, ayahnya pun berpesan untuk terus berbuat kebaikan dan tunduk pada atasan.
"Berbuat terus kebaikan, karena sesungguhnya manusia baik adalah yang terbaik dan hormatilah orangtuamu (atasan) di kantor, karena orangtua kedua kita adalah di kantor. Karena Tuhan tidak meyuruh Malaikat langsung memikul rejekimu tapi lewat tangan pimpinanmu. Maka itulah tetap tunduk dan hormat, orangtua kita adalah pimpinan di kantor," jelasnya.
Nilai-nilai adat, budaya, agama, menjadi kekuatan Kompol La Ode Suharman terus bergerak maju dan mengubah jalan hidup keluarganya.
Atas perjuangannya, ia kini melanjutkan dan membangun pondasi membentuk karakter anak-anaknya pulang dengan nilai-nilai tersebut.
Terlebih kedua anaknya kini mengabdikan diri kepada negara sebagai perwira kepolisian.(*)
(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)