4 Poin Kontroversi RUU TNI Ditolak, Memperluas Jabatan Sipil TNI, Kewenangan hingga Tugas Bertambah
Berikut ini empat poin kontroversi Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ramai jadi perbincangan.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Desi Triana Aswan
TRIBUNNEWSSULTRA.COM- Berikut ini empat poin kontroversi Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ramai jadi perbincangan.
Sorotan tajam terhadap sejumlah pasal yang dibahas dalam RUU ini pun dianggap mampu membangkitkan Dwifungsi ABRI.
Istilah Dwifungsi ABRI adalah kebijakan yang diterapkan pada masa Orde Baru.
Di mana, ABRI memiliki dua fungsi, yaitu sebagai kekuatan militer dan kekuatan sosial-politik.
Sementara ABRI merupakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
ABRI dan TNI tidak sama, tetapi keduanya pernah menjadi satu kesatuan.
Isu yang sudah tertanggal bertahun-tahun lamanya, bangkit kembali setelah pembahasan RUU TNI pada tahun 2025 ini.
RUU TNI sedang dibahas oleh pemerintah bersama Komisi I DPR RI.
Baca juga: RUU TNI Siap Disahkan Jadi UU di Paripurna, Tentara Leluasa Duduki Jabatan Sipil di Pemerintahan?
Kritikan makin keras terjadi terkait RUU TNI saat digelarnya pembahasan RUU TNI secara tertutup di hotel mewah, Hotel Fairmount Jakarta, Jumat (14/3/2025).
Lalu terjadi penggerudukkan dari Koalisi Masyarakat Sipil Sabtu (15/3/2025).
Targetnya, revisi UU TNI tersebut bakal selesai sebelum masa reses DPR, Jumat (21/3/2025).
Seperti yang disampaikan Menteri Pertahanan (Menham) Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat kerja sebelumnya dengan Komisi I DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
"Dengan harapan, ini bisa selesai pada bulan Ramadhan. Kami harapkan ini selesai sebelum reses para anggota DPR," ujarnya, dikutip dari Kompas.com.
Dan kini, setelah pembahasan berhari-hari, RUU TNI siap diboyong hingga ke rapat paripurna besok, Rabu (19/3/2025).
Lalu, apa saja poin-poin RUU TNI yang menjadi sorotan?
Isi RUU TNI
Sejumlah pihak telah menyatakan kekhawatiran atau ketakutan akan dampak dari revisi UU TNI. Salah satunya, terkait munculnya kembali Dwifungsi ABRI.
Sebab, aturan tersebut akan membolehkan prajurit aktif mengisi jabatan sipil di 16 kementerian dan lembaga negara.
Revisi itu juga menambah usia masa dinas prajurit hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, 60 tahun bagi perwira, serta 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.
Untuk lebih lengkapnya, berikut adalah poin-poin penting revisi UU TNI yang perlu dipahami:
1. Memperluas jabatan sipil TNI
Menurut Pasal 47 ayat (2) UU TNI, anggota TNI aktif hanya boleh menjabat di 10 kementerian dan lembaga sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun. Kementerian/lembaga tersebut, antara lain:
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara
Pertahanan Negara
Sekretaris Militer Presiden
Intelijen Negara
Sandi Negara
Lembaga Ketahanan Nasional
Dewan Pertahanan Nasional
Search and Rescue (SAR)
Nasional Narkotika Nasional
Mahkamah Agung (MA).
Baca juga: Suasana Pasca Bentrok Antarkelompok Pemuda di Punggolaka Kendari, Personel Polri dan TNI Bersiaga
Namun, dalam rapat revisi UU TNI, pemerintah dan DPR sepakat untuk menambah enam kementerian/lembaga yang bisa dijabat oleh perwira TNI aktif, yaitu:
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Badan Keamanan Laut
Kejaksaan Agung
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
2. Menambah batas usia pensiun
Perubahan yang disusulkan dalam revisi UU TNI berikutnya adalah penambahan batas usia pensiun prajurit TNI.
Pasal 43 UU TNI sebelumnya mengatur usia batas usia pensiun untuk perwira adalah 58 tahun, sedangkan tamtama dan bintara adalah 53 tahun.
Akan tetapi, rencananya batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama akan ditambah menjadi 55 tahun.
Sementara, usia pensiun bagi perwira menjadi 58 hingga 62 tahun, sesuai pangkat atau sesuai kebijakan presiden khusus perwira bintang empat.
3. Kedudukan TNI berubah
Dalam Pasal 3 UU TNI yang masih berlaku tertulis, TNI berkedudukan di bawah presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer.
Kemudian, TNI juga berkedudukan di bawah koordinasi Departemen Pertahanan dalam kebijakan dan strategi pertahaan serta dukungan administrasi.
Namun, pemerintah hendak mengubah kedudukan TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.
4. Kewenangan dan tugas bertambah
Dilansir dari Kompas.com, Minggu, anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin mengungkapkan, dalam RUU TNI tugas prajurit akan bertambah untuk melakukan operasi non-perang.
Dia menerangkan, awalnya TNI memiliki 14 tugas operasi militer selain perang (OMSP), tetapi kini ditambah menjadi 17.
Adapun 14 tugas tersebut, antara lain:
Mengatasi gerakan separatis bersenjata
Mengatasi pemberontakan bersenjata
Mengatasi aksi terorisme
Mengamankan wilayah perbatasan
Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis
Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai kebijakan politik luar negeri
Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya
Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai sistem pertahanan semesta
Membantu tugas pemerintahan di daerah
Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat
Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing di Indonesia
Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan
Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue)
Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Belum disebutkan secara rinci apa saja penambahan OMSP terbaru, tetapi Hasanuddin mengatakan, di antaranya adalah mengatasi masalah narkoba dan terait dengan operasi siber.
"Tapi yang jelas TNI tidak ikut dalam penegakan hukumnya," ujarnya.
Di sisi lain, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya Saputra, menilai terdapat banyak hal-hal bermasalah pada revisi UU TNI yang dibahas pemerintah dan panitia kerja (panja) DPR RI.
"DPR harusnya melakukan telaah lebih jauh. Proses (pembuatan) cukup cepat membuat ruang publik memberikan aspirasi dan masukan jadi sangat minim," tuturnya.
Menurutnya, Kontras bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mencatat, terdapat beberapa kekhawatiran yang ada pada revisi UU TNI.
Itu termasuk profesionalisme kerja TNI terancam, kembalinya dwifungsi ABRI, hingga potensi kekerasan dari TNI.(*)
(TribunPalu)(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.