Seven Wonders Sultra

Tak Hanya Kawasan Karst, Jajal Wisata Alam Danau Napabale hingga Tradisi Tenun Perempuan di Muna

Selain destinasi sejarah hingga kawasan karst, pesona wisata alam hingga kearifan lokal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra), begitu memukau.

|
Kolase TribunnewsSultra.com
Selain destinasi sejarah dan kawasan karst yang bisa disambangi, tentunya pesona wisata alam hingga kearifan lokal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) begitu memukau. Muna memiliki destinasi sejarah yang sudah diakui dunia lewat peninggalan masa purba berupa situs atau gua yang ada di Desa Liangkabori. Namun perlu diketahui, suguhan pemandangan alam dan kearifan lokal di Muna tak kalah menarik. Di Muna, Anda perlu menyambangi Danau Napabale untuk melihat keindahan dari pemandangan laut, terumbu karang, hingga gugusan pulau. Hingga tenun Masalili yang memiliki cerita menarik. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Selain destinasi sejarah hingga kawasan karst, pesona wisata alam hingga kearifan lokal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra), begitu memukau. 

Daerah ini memiliki destinasi sejarah yang sudah diakui lewat peninggalan masa purba berupa situs gua karst yang ada di Desa Liangkabori.

Demikian pula, bentangan kawasan karst yang salah satunya di Puncak Masalili, gugusan bukit kapur yang menjulang hingga 30 meter.

Namun perlu diketahui, suguhan pemandangan alam dan kearifan lokal di Muna pun tak kalah menarik.

Di Muna, Anda perlu menyambangi Danau Napabale untuk melihat keindahan dari pemandangan laut, terumbu karang, hingga gugusan pulau. 

Danau Napabale ini menjadi salah satu destinasi yang tak jauh dari Kota Raha. 

Anda hanya perlu melakukan perjalanan sekitar 30 menit untuk sampai ke titik destinasi wisata

Di sini, suguhan pemandangan alam yang memanjakan mata akan membuat Anda terpukau. 

Selain itu, air laut yang hijau dipadu dengan gugusan pulau karang menambah eksotisnya pemandangan. 

Anda bisa melakukan sejumlah aktivitas untuk mengeksplor destinasi Danau Napabale di Desa Lohia ini. 

Mulai dari memasuki terowongan yang terbuat alami dari karang. 

Baca juga: Selain Danau Napabale Muna Ada Wisata Tersembunyi, Ubur-ubur Tak Menyengat di Kelilingi Karang Atol

Terowongan ini akan hilang tertutup air saat, kondisi laut sedang pasang. 

Namun ketika surut, Anda bisa melewatinya sambil melihat ornamen dalam terowongan yang bertekstur. 

Selain itu, Anda bisa menaiki paddle board dan mendayung sendirian. 

Ini adalah momen paling menarik, karena bisa mengitari seputar kawasan danau yang tak berombak. 

Pasalnya, danau banyak di kelilingi pulau karang, yang membuat hempasan ombak tidak sampai ke area danau. 

Tak hanya itu, Anda juga bisa mencoba untuk ke Danau Ubur-ubur. 

Destinasi ini baru dikembangkan secara mandiri oleh para pemuda lokal yang ada di Desa Lohia. 

Berawal dari keresahan para tujuh pemuda ini, mereka pun kompak patungan untuk bisa mengembangkan dan memperkenalkan kekayaan alam yang dimiliki kampung halamannya.

Pada dasarnya Desa Lohia memiliki destinasi wisata utama yakni Danau Napabale.

Danau wisata air asin ini memiliki beberapa spot menarik yang bisa dieksplor.

Misalnya terowongan tersembunyi sepanjang 30 meter, ketenangan danau yang memberi rasa sejuk bagi yang melihatnya, terlebih suguhan pemandangan Napabale yang begitu eksotis.

Hal inilah yang dikembangkan Wahyu dan kawan-kawan. Mereka pun terbesit untuk menjadikan Danau Napabale lebih dikenal lagi di Sulawesi Tenggara hingga di Indonesia.

Nirfan menjelaskan kepada TribunnewsSultra.com, Selasa (12/11/2024) salah satu hal menarik yang bisa dijajal dan ikonik di kawasan Danau Napabale adalah Danau Ubur-ubur.

Masih berada dalam kawasan Desa Lohia, akses menuju Danau Ubur-ubur ini satu-satunya hanya melewati terowongan tersembunyi.

Lokasinya pun tak begitu jauh, TribunnewsSultra.com sempat menjajal destinasi menantang adrenalin tersebut.

Hanya sekitar 7 menit saja menggunakan perahu nelayan yang telah disediakan JSO Group dari Danau Napabale menuju 'pintu masuk' Danau Ubur-ubur.

Akses masuk yang begitu terjal dan berliku, namun terbalas dengan keunikan yang disuguhkan ribuan ubur-ubur.

Pasalnya, danau ini bak terkurung dan di kelilingi tebing tinggi.

Bahkan, hewan laut itu muncul dipermukaan bak menyapa para pengunjung.

"Hanya mereka yang beruntung jika melihat ubur-ubur di sini," tuturnya.

Danau Napabale yang menjadi ikon destinasi pariwisata di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra), juga ada spot wisata tersembunyi yang patut disambangi.   Yakni Danau Ubur-ubur, yang sepanjang tahun 2024 ini menjadi salah satu destinasi wisata unik dan menarik.   Pasalnya, ubur-ubur yang ada di kawasan Danau Napabale ini bisa dipastikan tidak menyengat.   Bahkan dapat tersentuh oleh manusia dan berenang bersama. 
Danau Napabale yang menjadi ikon destinasi pariwisata di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra), juga ada spot wisata tersembunyi yang patut disambangi.  Yakni Danau Ubur-ubur, yang sepanjang tahun 2024 ini menjadi salah satu destinasi wisata unik dan menarik.  Pasalnya, ubur-ubur yang ada di kawasan Danau Napabale ini bisa dipastikan tidak menyengat.  Bahkan dapat tersentuh oleh manusia dan berenang bersama.  (Kolase TribunnewsSultra.com/Tribun Timur-Akkang Heyhe)

Bagaimana tidak, kata alumni Universitas Muslim Indonesia di Makassar ini, Danau Ubur-ubur begitu ekslusif disuguhkan Tuhan untuk tanah Muna.

Letak yang tersembunyi, menjadikan destinasi ini begitu spesial.

Ketika menyambanginya pun butuh tenaga ekstra karena harus menaiki tebing dengan kondisi jalan terjal.

Meski begitu, tak perlu khawatir karena tentunya JSO Group siap mendampingi para pengunjung dengan penuh tanggungjawab.

"Kami ingin memberikan kesan bagi para pengunjung agar mereka bisa datang kembali menikmati destinasi wisata di sini," jelasnya.

Sehingga pelayanan adalah hal utama bagi para pemud di JSO Group.

Namun sejauh ini, JSO Group juga membatasi pengunjung untuk melakukan perjalanan ke Danau Ubur-ubur.

Hal tersebut agar menjaga habitat ubur-ubur tetap lestari dan kealamian kondisi alam serta tebing terjaga.

Baca juga: Emansipasi Wanita Desa Masalili Muna, Menenun Tradisi Turun-temurun, Mandiri dari Masa ke Masa

"Sebisa mungkin kami batasi, karena kalau terlalu banyak yang datang kita khawatir juga nanti kondisi alamnya rusak," tuturnya.

Sehingga, ia pun menjadwalkan setiap perjalanan pengunjung yang ingin menikmati trip di seluruh spot Danau Napabale termasuk Danau Ubur-ubur.

Nirfan dan kawan-kawan berharap Danau Napabale bisa mendapat perhatian dari pemerintah setempat.

Terlebih mendukung akses jalanan menuju lokasi destinasi wisata yang perlu mendapat perhatian.

Termasuk kondisi masuk Danau Napabane yang perlu rehabilitasi mulai dari fasilitas toilet untuk pengunjung hingga sejumlah usaha kecil para pedagang di sekitar danau.

"Karena tujuan kami juga pemuda bisa menghidupkan Danau Napabane lebih dikenal lagi ini karena ingin mendukung upaya masyarakat dalam mencari rezeki khususnya di Desa Lohia," tuturnya.

Selain itu, para nelayan yang biasanya menggunakan perahu untuk menangkap ikan kini bisa mencari penghasilan tambahan dengan menyewakan kendaraan lautnya untuk para pengunjung danau.

"Jadi semuanya bisa saling berdampak satu sama lain," tuturnya.

Bagi Nirfan, upaya yang dirinya lakukan bersama dengan keenam rekannya bukan sekedar mencari keuntungan semata.

Namun punya misi membangkitkan kondisi perekonomian serta destinasi wisata di Desa Lohia yang kini perlu dibangkitkan.

"Jujur saja waktu sebelum awal kami bergerak bersama melalui JSO Group ini, kondisi danau jarang disambangi," jelasnya.

Barulah setelah memulai membuka trip dengan konsep yang lebih kekinian dan menambahkan fasilitas paddle board membuat sensasi destinasi wisata di Muna ini lebih menarik hati pengunjung.

Konsep ekonomi kreatif pengelolaan pariwisata yang modern inilah ditawarkan JSO Group untuk mengembangkan destinasi di Desa Lohia, kampung halaman mereka. 

Tradisi Menenun Kearifan Lokal di Muna

Emansipasi wanita Desa Masalili Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) terus mengembangkan tradisi menenun turun temurun.
Emansipasi wanita Desa Masalili Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) terus mengembangkan tradisi menenun turun temurun. (Kolase TribunnewsSultra.com)

Sejak zaman kerajaan, tenun sudah menjadi ciri khas Masalili di Kabupaten Muna

Ini juga bisa menjadi salah satu pilihan untuk menjajal destinasi wisata Muna

Karena bisa membuat Anda mengetahui lebih jelas tentang kekayaan Kabupaten Muna yang beragam.

Pasalnya, tenun Masalili ini sudah berjaya sejak zaman dulu. 

Entah digunakan sebagai sarung ataupun pada era modern ini juga kerap menjadi bahan membuat pakaian. 

Meski tak ada kewajiban untuk menenun, namun wanita di desa ini memiliki kemauan dan ketertarikan untuk melakukan tradisi membuat kain tenun ini.

Keahlian inilah menjadi modal utama wanita di sini membantu suaminya mencari nafkah yang bekerja sebagai tukang kayu atau tukang batu.

Baca juga: BI Sultra Bantu Kembangkan Tenun di Sulawesi Tenggara Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Ada Tenun Masalili

Hal ini pula mengangkat potensi wisata Desa Masalili yang dikenal sebagai kampung tenun.

Bagaimana tidak, nyaris 90 persen dari 358 jumlah keluarga di sini memiliki alat tenun yang digunakan para wanita untuk menenun.

Jika dulu menenun adalah hanya sekedar hobi yang dilakukan para wanita di Desa Masalili, namun kini berkembangannya potensi ini justru menjadi ladang cuan.  

Hingga tahun 2024, tenun Masalili begitu berkembang dan dikenal di seantero Nusantara.

Terlebih, sosok Presiden ke-7 RI, Joko Widodo saat peringatan hari pers nasional (HPN) 2022 mengenakan tenun khas Masalili ini dengan motif Robu atau bambu muda dengan hiasan bintang karya perajin lokal.  

TribunnewsSultra.com, Rabu (13/11/2024) menyambangi Desa Masalili untuk mengenal lebih dekat tradisi turun temurun para wanita ini.

Dari Kota Muna, tim TribunnewsSultra.com membutuhkan waktu sekitar 17 menit menempuh perjalanan 10 kilometer.

Setibanya di Desa Masalili, kami lantas bertemu dengan para perajin tenun yang berdaya secara mandiri ataupun kelompok.

Sitti Hasmia (50) sementara berjibaku dengan alat tenun manual miliknya yang sudah berusia puluhan tahun.

Saat duduk di bangku SMP, ia sudah mahir menyusun benang demi benang untuk dijadikan kain.

Proses tenun dipelajarinya otodidak, karena sering melihat ibunya melakukan aktivitas tenun setiap hari tanpa lelah.

"Saya senang menenun, waktu SMP saya sudah belajar. Saya juga pakai alat tenun warisan ibuku," tuturnya.

Kayu yang dirakit menjadi alat tenun itu, masih setia digunakannya.

Bahkan alat tenun yang dibuat dari kayu jati dan bambu itupun sudah berusia puluhan tahun.

"Masih awet sampai sekarang, ini juga penyangganya (untuk susunan benang) sudah dari saya SMP," jelasnya.

Kini ia sudah menenun hingga ribuan meter kain dari total perjalanannya sebagai seorang penenun dan ibu rumah tangga.

Setiap harinya, ia bisa duduk berjam-jam untuk menenun dengan hasil pekerjaan satu meter kain tenun.

Namun hal tersebut juga tergantung kerumitan motif yang dibuatnya.

Sitti akan membuat kain tenun sesuai dengan pesanan pelanggannya.

Harganya bervariatif mulai dari Rp 350 ribu hingga Rp 1 jutaan.

Dari penghasilannya menenun, ia bisa membantu sang suami yang bekerja sebagai buruh harian.

"Lumayan juga walaupun tidak menentu pesanan pelanggan. Tapi biasanya itu bisa saya dapat 10 pesanan kain tenun dalam beberapa bulan," tuturnya.

Sementara itu, adapula kelompok perajin tenun yang diberdayakan oleh Ani (38) seorang pengusaha dan ibu rumah tangga di Desa Masalili.

Saat kami sambangi, Ani sedang memantau para penenun yang sedang bekerja.

Pada dasarnya, Ani bukanlah warga asli desa tersebut. Namun, ia menikah dengan warga setempat sehingga kini tinggal di Desa Masalili.

Ia memiliki toko kain tenun khas Masalili dengan nama Zafran Tenun.

Awalnya, Ani pun tidak tahu bagaimana cara menenun. Tekadnya muncul saat menjadi istri dari pria asli Masalili.

Di mana, para wanita di kampung tersebut memiliki keahlian menenun.

Pada tahun 2018, Ani terdorong keingintahuan belajar menenun sampai mahir.

Ani membaca peluang ekonomi yang dapat dikembangkan dari keahlian menenun para wanita.

Ia pun menggaet sejumlah penenun lokal di Desa Masalili, yang seluruhnya adalah wanita mulai dari 8 hingga 15 orang.

Meski sebagai owner, namun Ani tidak pernah menargetkan ataupun membebani para pekerjanya.

"Jadi yah, semua dari kemampuan para penenun saja. Mereka bisa berapa meter, itu yang nantinya dihasilkan atau diupah," pungkasnya. (*)

(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

 
 

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved