Kemenkumham Sultra

Direktur Jenderal HAM Soroti Kasus Anak Berkonflik dengan Hukum Meningkat, Desak Revisi UU SPPA

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Dhahana Putra, menyoroti adanya tren peningkatan anak berkonflik dengan hukum (ABH), yang belakangan di Indonesia

Istimewa
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Dhahana Putra, menyoroti adanya tren peningkatan anak berkonflik dengan hukum (ABH), yang belakangan terjadi di Indonesia. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Dhahana Putra, menyoroti adanya tren peningkatan anak berkonflik dengan hukum (ABH), yang belakangan terjadi di Indonesia.

Menurutnya, kondisi semacam ini membuat adanya dorongan publik agar pemerintah melakukan langkah lebih efektif untuk mencegah terjadinya ABH. 

Kasus yang belakangan banyak melibatkan anak-anak seperti kasus pembunuhan hingga kekerasan seksual.

Secara konstitusional, hak-hak anak telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 

"Harus diakui, meningkatnya kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak belakangan, menimbulkan pertanyaan bagaimana agar pendekatan restorative justice kepada ABH ini dapat berjalan dengan efektif," kata Dhahana.

Sejatinya, Direktur Jenderal HAM menjelaskan, di Indonesia, restorative justice secara formil baru telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). 

Baca juga: Kemenkumham Sultra Catat Pendaftaran dan Pencatatan Kekayaan Intelektual Meningkat Tahun ke Tahun

Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) secara formil adalah tonggak peradilan pidana Indonesia berparadigma restorative justice.

Pasal 5 ayat (1) UU SPPA, menyatakan Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. 

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 memperkenalkan konsep diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 

Dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi dengan ketentuan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Namun, mengingat adanya tren peningkatan kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual oleh anak yang ancaman pidananya di atas 7 tahun, Dhahana memandang adanya keperluan untuk melakukan penyesuaian terkait UU SPPA.

Sebab diversi UU SPPA tidak berlaku untuk kasus dengan ancaman pidana di atas 7 tahun.

Baca juga: Kemenkumham Sultra Sosialisasi Penghapusan Jaminan Fidusia yang Habis Masa Berlaku di Kolaka

"Penyesuaian ini harus memperjelas kapan rehabilitasi dapat diberikan dan kapan proses hukum formal lebih sesuai. Dengan juga mempertimbangkan keadilan bagi korban, dan di sisi lain tentu tanpa mengabaikan hak anak," jelas Dhahana. 

Diharapkan dengan adanya revisi UU SPPA dapat membuat proses hukum lebih adil dan sesuai dengan dinamika tindak kriminal yang berkembang.

Dengan penyesuaian ini,  Dhahana juga berharap anak yang terlibat dalam kejahatan dapat mendapatkan kesempatan rehabilitasi yang efektif, sementara hak-hak korban juga tetap terjaga.

Selain itu perlu adanya pengaturan Restorative Justice dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.

Seperti diketahui penerapan Restorative Justice di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan yaitu Peraturan Kepolisian, Peraturan Kejaksaan, dan Peraturan Mahkamah Agung.(*)

(TribunnewsSultra.com/Content Writer)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA
Komentar

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved