Berita Wakatobi
250 Pelajar SD dan SMP Pulau Wangiwangi Belajar Jalur Rempah dan Sejarah Cagar Biosfer Wakatobi
Sebanyak 250 pelajar SD dan SMP Pulau Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara belajar tentang jalur rempah dan sejarah cagar biosfer.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Desi Triana Aswan
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, WAKATOBI- Sebanyak 250 pelajar SD dan SMP Pulau Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara belajar tentang jalur rempah dan sejarah cagar biosfer.
Kegiatan siswa siswi SD dan SMP ini dilakukan saat pelaksanaan konferensi internasional Perhimpunan Cagar Biosfer Asia Tenggara atau Southeast Asian Biosphere Reserves Network (SeaBRnet) yang digelar Kemendikbudristek di Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada Selasa-Kamis (30-2/2024).
Sejarawan sekaligus kurator Pameran Kemendikbudristek Erwien Kusuma hadir memberikan edukasi langsung untuk para siswa siswi.
Ia memamerkan jalur rempah Indonesia, yang begitu erat dengan kaitannya di wilayah Wakatobi.
Termasuk keberadaan Suku Bajau di Wakatobi yang berperan penting menjaga cagar biosfer dunia.
Mengangkat tema dengan bahasa daerah Wakatobi ‘Polaosi’ artinya harmoni dan kedekatan sesame manusia ataupun manusia dengan alam.
Sekretaris Daerah atau Sekda Wakatobi, Nadar Sinyo Sarif kepada TribunnewsSultra.com, Kamis (2/4/2024) mengungkapkan rasa bangganya dengan penyelenggaraan kegiatan yang digelar oleh Kemendikbudristek.
Baca juga: Parade 1000 Perahu Suku Bajau Wakatobi Sultra Deklarasikan Diri Jaga Kelestarian Alam dan Budaya
Menurutnya, edukasi terkait sejarah Wakatobi sebagai cagar biosfer dan jalur rempah kepada generasi muda di Wakatobi sangatlah penting agar memberi pemahaman dan jati diri.
Terlebih, sebagai generasi penerus, rasa cinta dan pemahaman tentang awal mula adanya cagar biosfer sebagai kekayaan alam yang di Wakatobi bisa tumbuh dan terawat
“Ini bagian dari upaya pemerintah untuk mengenalkan kepada generasi penerus tentang kebudayaan maritim yang dimiliki oleh Indonesia, khususnya Wakatobi. Berdasarkan hal itu, Indonesia tentunya memiliki masa kejayaan maritim di masa lalu, dan Wakatobi turut serta di dalamnya,” jelasnya.
Jejak jalur rempah, menurutnya, menjadi bukti skenario Indonesia sebagai negara maritim ini.
Di masa lalu, sambungnya, Wakatobi juga merupakan daerah penghasil rempah, terutama cengkeh dan pala.
Selain itu, masyarakat Wakatobi juga memiliki ketangguhan dalam hal mengarungi lautan, Wakatobi juga memiliki suatu budaya perahu yang sampai hari ini masih dilestarikan.
"Jadi, Wakatobi ini adalah masyarakat yang punya peranan, juga menjadi pelaku perdagangan antar-pulau dan bahkan antar-negara. Dan itu hari ini dipamerkan semua kepada para anak-anak kita," pungkasnya.
Seperti diketahui, Taman Nasional Wakatobi ditetapkan sebagai cagar biosfer dari UNESCO pada tahun 2012 silam.
Ir Hugua yang saat itu menjabat sebagai Bupati Wakatobi, menerima sertifikat cagar biosfer ini yang diserahkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan secara resmi di Lapangan Merdeka, Wangi-Wangi, Kab Wakatobi, Selasa (14/5/2013).
Hingga tahun 2024, Indonesia telah memiliki 19 cagar biosfer seluas 29.9 juta ha yang menjadi bagian dari World Network of Biosphere Reserves.
Penetapan Taman Nasional Wakatobi sebagai cagar biosferini bukan tanpa sebab.
Wakatobi merupakan cagar biosfer laut yang dimiliki Indonesia.
Zona inti cagar adalah kawasan Taman Nasional Wakatobi, yang telah ditetapkan sebagai taman nasional pada 1996 dan memiliki luas 1.390.000 hektar.
Kawasan ini terdiri dari 39 pulau, tiga gosong, serta lima atol, secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Selain itu, Wakatobi juga masuk dalam peta penyebaran Suku Bajau dan cagar biosfer di Asia Tenggara.
Baca juga: Regenerasi Suku Bajau ‘Penjaga Laut’ Wakatobi Sulawesi Tenggara Jaga Keberlanjutan Hidup dan Budaya
Hal ini menjadi bukti pula jejak sejarah masa lampu Jalur Rempah yang telah menjadi jalur peradaban melalui perdagangan dan interaksi budaya di Nusantara dan Asia Tenggara.
Jalur rempah telah menjadi jalur peradaban melalui perdagangan dan interaksi budaya di Nusantara dan Asia Tenggara dengan menghadirkan kisah-kisah epik tentang bagaimana rempah seperti cengkeh, lada, dan pala telah menjadi komoditas utama yang menarik bangsa-bangsa dari seluruh dunia ke wilayah ini.
Jalur rempah tidak hanya menjadi rute perdagangan, tetapi juga menjadi jalur konektivitas untuk menjalin hubungan dengan bangsa lain, membentuk ikatan kuat melintasi batas negara dan budaya.
Tentunya, di sepanjang jalur rempah Indonesia yang dilewati ada ekosistem laut dalam cagar biosfer di sepanjang jalur pelayaran rempah di Indonesia menjadi ruang bagi semua makhluk untuk tumbuh dan berkembang, termasuk manusia, dan memberikan nuansa yang beragam antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Ekosistem laut saat ini memerlukan sentuhan rasa dan asa kepedulian dari semuanya tanpa terkecuali untuk tetap lestari di masa depan. (*)
(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.