Kontroversi Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye Viral, Simak UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu
Ramai kontroversi soal pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tentang pejabat publik yang berkampanye. Simak UU yang mengatur hal tersebut.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Desi Triana Aswan
TRIBUNNEWSSULTRA.COM- Ramai kontroversi soal pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tentang pejabat publik yang berkampanye.
Menurutnya, Presiden dan Menteri boleh melakukan aktivitas kampanye selama Pemilu.
Sontak saja pernyataan tersebut menuai kontroversi dan viral di media sosial.
Berbagai rekaman soal wawancara Jokowi itupun beredar di media sosial.
Seperti diketahui, Jokowi sempat mendapat sorotan karena mengomentari debat Capres.
Ia menyebut jika harusnya dalam debat tak menyinggung personal seseorang.
Selain itu, baru-baru ini Jokowi kembali membuat heboh.
Baca juga: Reaksi Presiden Jokowi Soal Mahfud MD Mundur, Video Viral 2 Jari dari Mobil RI 1, Kelakuan Gibran
Ia secara terang-terangan menyebut jika Presiden dan Menteri boleh berkampanye pada masa Pemilu.
Hal itu diungkapkannya saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).
Rekaman video viral wawancara Jokowi pun beredar ke berbagai akun di media sosial.
Baik eks Twitter atau X, Instagram hingga TikTok ramai membahas soal pernyataan Jokowi tersebut.
Terlebih dalam kontestasi politik saat ini, sejumlah Menteri pemerintahan Jokowi ikut jadi Capres dan Cawapres.
Seperti Prabowo Subianto dan Mahfud MD.
Sehingga menurutnya, Menteri tersebut boleh memihak termasuk dirinya sebagai Presiden.
Jokowi mengungkapkan dirinya memiliki hak politik.
Sehingga berhak pula memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi pesta demokrasi.
Dilansir dari Tribunnews.com, Jokowi mengatakan, aktivitas yang dilakukan menteri-menteri dari bidang non politik itu merupakan hak demokrasi.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi
"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," katanya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu lantas menjelaskan bahwa presiden dan menteri merupakan pejabat publik sekaligus pejabat politik.
Oleh karena itu, Jokowi berpandangan bahwa presiden dan menteri boleh berpolitik.
Baca juga: Profil dan Sosok Mayor Teddy Ajudan Prabowo Diduga Langgar Netralitas Pemilu, Sempat Kawal Jokowi
"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," ujarnya.
Saat ditanya lebih lanjut soal bagaimana memastikan agar presiden tidak terlibat dalam konflik kepentingan ketika berkampanye dalam pemilu, Jokowi menegaskan sebaiknya tidak menggunakan fasilitas negara.
Sementara itu, saat ditanya apakah dirinya memihak atau tidak dalam pemilu kali ini, Jokowi justru kembali bertanya kepada wartawan.
Merujuk pada Undang-Undang atau UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur daftar pejabat negara yang tidak boleh dilibatkan sebagai pelaksana/tim kampanye pemilu.
Hal itu termuat dalam Pasal 280 ayat (2) dan (3).
Dalam daftar itu, tidak ada presiden, menteri, maupun kepala daerah.
Pejabat-pejabat negara yang dilarang terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye itu meliputi:
1. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
3. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
4. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD
5. pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
6. aparatur sipil negara (ASN);
7. anggota TNI dan Polri
8. kepala desa;
9. perangkat desa;
10. anggota badan permusyawaratan desa.
Sanksi Pejabat negara pada huruf a sampai d yang terbukti terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye diancam pidana maksimum dua tahun penjara dan denda Rp 24 juta.
Sementara itu, pejabat negara pada huruf f sampai j diancam pidana maksimum satu tahun penjara dan denda Rp 12 juta.
Kepala desa pun bisa dikenakan pidana yang sama bila melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu.
Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala dan perangkat desa yang terlibat dalam kampanye juga dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan/tertulis.
Hal itu termuat dalam Pasal 29 dan 30 serta 51 dan 52 UU Desa.
Jika sanksi administratif itu tak dilaksanakan, maka mereka bisa diberhentikan sementara dan dilanjutkan dengan pemberhentian.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Desa tidak mengatur ketentuan maupun sanksi untuk kepala daerah yang terlibat kampanye pemilu.
Namun demikian, UU Pemilu mengatur bahwa beberapa pejabat negara dibolehkan berkampanye dan itu termuat di Pasal 299 UU Pemilu.
Dalam Pasal 299 ayat (1) tertulis, "Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye".
Pasal itu juga menyatakan bahwa pejabat negara yang merupakan kader partai politik (parpol) diizinkan untuk berkampanye.
Pejabat negara non-parpol juga bisa berkampanye jika sebagai capres-cawapres dan selama didaftarkan sebagai anggota tim kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Namun demikian, Pasal 281 UU Pemilu memberi sejumlah syarat bagi pejabat negara yang berkampanye, termasuk para menteri dan kepala negara.
Selain harus cuti di luar tanggungan negara, mereka juga dilarang menggunakan sejumlah fasilitas negara.
Ketentuan lebih jauh soal larangan memakai fasilitas negara untuk kampanye pejabat negara diatur dalam Pasal 304-305 UU Pemilu.
UU Pemilu lewat Pasal 282 dan 283 juga mengatur bahwa para pejabat negara dilarang berpihak selama masa kampanye atau membuat keputusan/tindakan yang menguntungkan/merugikan salah satu peserta pemilu selama kampanye.
Di sisi lain, pejabat negara, struktural, dan fungsional, serta ASN lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Larangan itu meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada ASN dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
(*)
(Kompas.com)(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.