Isi Hati Gigoro Masyarakat Adat O Hangana Manyawa Dalam Bayang Tambang Nikel di Halmahera Timur
Tim liputan menelusuri jauh hingga ke timur Halmahera mendengar kisah-kisah masyarakat adat O Hangana Manyawa yang berjuang mencari hidup di hutan.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Sitti Nurmalasari
“Pengakuan terhadap hutan adat di Halmahera hingga saat ini masih terlunta-lunta,” kata Faisal.
Proses pengakuan hak masyarakat yang sudah dikuasai selama 20-30 tahun harus segera dilakukan.
WALHI mendorong untuk menggugat Kementerian Kehutanan atas pengabaian hak warga, terutama dalam meletakkan proses pengakuan wilayah hutan yang sudah dikuasai masyarakat selama dua atau tiga dekade. Pemerintah masih memandang bahwa kawasan hutan yang dikuasai masyarakat saat ini masih termasuk dalam kawasan hutan, padahal kenyataannya, masyarakat sudah lama berkebun di dalam hutan.
Halmahera Tengah dan Timur diperkirakan menjadi wilayah produktif sumber daya alam dengan banyak IUP. Tak dipungkiri, anggota DPRD Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda jika hal tersebut menjadi ladang permainan para oknum untuk mendapatkan uang lebih. Tak hanya kepentingan perusahaan yang ingin menguasai lahan masyarakat adat.
Namun berbagai hal yang dalam prosesnya bisa dimanfaatkan oknum-oknum nakal. Padahal menurut Munadi Kilkoda, seharusnya pemerintah bisa mendorong adanya Peraturan Daerah atau Perda yang mampu mengawal segala hak-hak masyarakat adat sebagai warga asli di Halmahera Tengah dan Timur.
Walaupun sejak awal menduduki jabatannya sebagai anggota DPRD Halmahera Tengah turut terlibat dalam menyusun visi dan misi pemerintahan daerah mengenai perlindungan hak-hak yang dimiliki masyarakat adat. Namun perjuangan tersebut tak membuahkan hasil dan mengambang pada proses eksekusi.
Munadi Kilkoda konsisten dengan tujuannya menyatakan sikap untuk perlindungan hak masyarakat adat. Dalam perjalanannya, ia menemui kendala dan tantangan yang begitu masif terjadi. Bahkan berimbas kepada pekerjaannya sebagai seorang anggota dewan.
Ditemui tim liputan pada 4 November 2023, Munadi Kilkoda membongkar dugaan praktik 'jahat' yang ada di lingkaran ruang legislatif Halmahera Tengah.

"Halteng ini termasuk daerah IUP nya begitu banyak. Banyak pihak yang berkepentingan untuk menguasai lahan masyarakat adat. Ketika kita berbicara Perda yang berkepentingan terhadap masyarakat, itu pasti akan selalu ada gesekan yang kuat," bebernya.
Ketua AMAN dua periode ini menyebut, selama ini terjadi pertarungan sengit di wilayah industri Halmahera Tengah. Bak menjadi rahasia umum, gesekan tersebut menjadi kendala lahirnya Perda yang mendorong lahirnya Perda perlindungan hak masyarakat adat termasuk ruang hidup. Terlebih, posisi pemerintah setempat yang secara terang-terangan memudahkan akses investor untuk menggarap lahan produktif di Halmahera Tengah.
Misalnya saja, perluasan kawasan konsesi pertambangan PT IWIP. Di mana yang awalnya 500 hektar menjadi 15 ribu hektar. Bahkan wacana ditambah 7 ribu hektar sehingga total wilayah konsesi mencapai 22 ribu hektar.
Angka fantastis ini nampaknya menjadi ancaman besar untuk tiga hingga empat kecamatan di Weda. Mulai dari Weda Tengah, Utara, Timur hingga mengancam Patani Barat.
"15.000 hektar saja ini kecamatan sudah habis menjadi kawasan industri, Weda Tengah, Utara, Timur dan kalau ditambah 7 ribu lagi, berarti Patani Barat juga habis. Jadi wilayah-wilayah produktif itu masuk dalam kawasan industri. Nasibnya akan sama seperti Desa Lelilef. Akhirnya kebun-kebun juga habis termasuk ruang hidup warga asli di sana," tuturnya.
Munadi Kilkoda menolak adanya perluasan kawasan industri tersebut. Baginya, penolakan yang dilakukan itu tak lain demi generasi penerus di Halmahera Tengah. Sayangnya, satu suara yang tak berarti nampaknya membuat dirinya pesimis atas hal tersebut.
"Karena semuanya sudah setuju dan diserahkan pemerintah pusat. Jadi yah, saya cukup pesimis," tuturnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.