Isi Hati Gigoro Masyarakat Adat O Hangana Manyawa Dalam Bayang Tambang Nikel di Halmahera Timur

Tim liputan menelusuri jauh hingga ke timur Halmahera mendengar kisah-kisah masyarakat adat O Hangana Manyawa yang berjuang mencari hidup di hutan.

|
TribunnewsSultra.com/Desi Triana
Gigoro bergetar, matanya memerah hingga sedikit berair. Ia mengungkapkan sulitnya mencari bahan makanan saat ini di hutan, beda seperti dulu. Dengan kondisi ini, kehidupan masyarakat adat O’Hongana Manyawa semakin terjepit. Perubahan ekosistem dan pembatasan ruang hidup mereka memberikan tekanan serius terhadap keberlanjutan cara hidup tradisional mereka. 

Gigoro berusaha beradaptasi dengan kehidupan masyarakat setempat, meskipun sulit karena terbiasa hidup di hutan yang merupakan rumahnya. Kenangan akan tempat kelahirannya di Hutan Ake Jira tidak pernah terhapus. Meski hidup di pemukiman warga, Gigoro terus mencari nafkah dengan menjual hasil tangkapan dan berkebun, keahliannya menanam dari masa hidupnya di hutan tetap terjaga.

Hidup terus berjalan, dan dengan kesulitan, Gigoro tumbuh menjadi bagian dari masyarakat pesisir. Ia menikah dengan wanita dari Desa Buli Maba, Halmahera Timur, dan memiliki tiga anak yang berhasil menempuh pendidikan tinggi. Meskipun puluhan tahun berada di pemukiman warga, Gigoro tetap mempertahankan identitas kelahirannya di Ake Jira, bahkan menolak pembuatan KTP jika tempat kelahirannya tidak dicantumkan.

Sesekali, Gigoro menyambangi sanak saudaranya yang masih tinggal di hutan belantara, tetapi ia tidak pernah membawa keluarganya karena menyadari bahwa rumah sejatinya bagi O Hongana Manyawa adalah Ake Jira.

Namun, perasaan campur aduk dan kebimbangan menghampiri Ngigoro. Keluarganya di hutan semakin terancam karena lahan yang mereka tempati digusur tanpa izin. Meskipun ada tanda-tanda kehidupan masyarakat adat, tampaknya perusahaan tambang tidak memiliki rasa empati.

Lebih lanjut, kata Gigoro, masyarakat O Hongana Manyawa tidak memahami pekerjaan yang sedang dilakukan oleh perusahaan tambang di hutan Ake Jira saat ini.

"Mereka tidak memahami bahwa kita, masyarakat luar, memiliki cara hidup kita sendiri. Mereka tidak memikirkan tentang keberlanjutan hidup. Mereka hanya berusaha bertahan hidup dengan mencari makan," katanya.

Oleh karena itu, Gigoro, yang sudah lama tinggal di pemukiman warga dan memahami ancaman terhadap hutan Ake Jira sebagai rumah bagi O Hongana Manyawa, bergerak untuk melakukan perlawanan. Ia melawan untuk melindungi warisan leluhur dan kehidupan masyarakat O Hongana Manyawa agar tidak musnah. Gigoro mengungkapkan kerinduannya pada hutan Ake Jira, tempat di mana ia dilahirkan dan tumbuh menjadi remaja.

"Saya sangat merindukan wilayah ini. Karena wilayah ini adalah wilayah leluhur, di sini terdapat makam. Saya tidak ingin melihatnya tergusur. Jika itu terjadi, saya tidak akan bisa melihatnya lagi," ujarnya dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar.

Mereka Pemilik Sah Hutan Halmahera

Gigoro diapit dua jurnalis puan dari Kalesang.id (kiri) dan Harian Mercusuar (kiri) saat berada di Desa Saolat Halmahera Timur.
Gigoro diapit dua jurnalis puan dari Kalesang.id (kiri) dan Harian Mercusuar (kiri) saat berada di Desa Saolat Halmahera Timur. (TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Direktur WALHI Maluku Utara Faisal Ratuela menyampaikan, dalam konteks masyarakat adat, terdapat kesalahan yang perlu diperbaiki. Saat ini, para peneliti sedang melakukan reset untuk memahami apa yang diinginkan oleh masyarakat adat dari investasi. Mereka berusaha membangun pemahaman bahwa yang dibangun adalah rumah bagi mereka.

“Tidak ada pembangunan rumah bagi mereka (masyarakat adat), meskipun fisik rumah dibangun di dalam hutan. Hutan adalah rumah bagi mereka,” ujarnya.

Menurutnya, ketika mendekati perspektif yang kita miliki, penting untuk bertanya apakah kita adil jika tidak memasukkan perspektif yang ada dalam pemikiran mereka. Sebenarnya, mereka adalah pemilik sah dan penjaga hutan di Halmahera.

Masyarakat tidak melarang siapapun yang mencari makan di kampung mereka, tetapi mereka berharap tidak diusir dari tanah mereka. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat menetapkan hukum menurut perspektif mereka sendiri, karena mereka kehilangan kepercayaan kepada negara.

“Apa yang terjadi saat ini perlu dievaluasi. Apakah proyek strategis nasional di Halmahera berhasil memberikan keadilan ekonomi yang merata atau tidak,” katanya.

Direktur WALHI Maluku Utara Faisal Ratuela 2
Direktur WALHI Maluku Utara Faisal Ratuela

Menurutnya, di sekitar tambang, kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus terjadi karena pemerintah mengabaikan pengakuan ruang hidup masyarakat adat untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 tahun 2012 tentang hutan adat.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved