Opini
OPINI: Hantu-hantu Itu Masih Gentayangan
Di Kamboja terdapat "rumah hantu", sebuah gedung yang berdiri angker terletak di Choueng Ek Killing Fields dekat Phnom Phen yang dikenal sebagai salah
Oleh: Zainal Arifin Ryha
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Di Kamboja terdapat "rumah hantu", sebuah gedung yang berdiri angker terletak di Choueng Ek Killing Fields dekat Phnom Phen yang dikenal sebagai salah satu lokasi pembantaian massal oleh rezim Khmer Rouge atau Khmer Merah pimpinan Jenderal Pol Pot.
Gedung itu berisi ribuan tengkorak sisa-sisa pembantaian yang disusun rapi dan tinggi menjulang. Pol Pot yang ingin membangun negara komunis, disinyalir telah membantai hampir 2 juta orang atau 25 prosen dari total warga Kamboja saat itu.
Lewat kebijakan "Maha Lout Ploh", rezim Pol Pot merombak tatanan masyarakat Kamboja menjadi "masyarakat tanpa kelas". Rakyat dijadikan pekerja paksa sebagai petani, tidak terkecuali para profesional seperti jurnalis, dokter, ilmuan dan menempatkan mereka di kamp-kamp konsentrasi.
Pol Pot yang memerintah dengan xenophobia dan paranoia juga membantai lawan-lawan politiknya dan melakukan genocida, khususnya terhadap etnis minoritas.
Kisah kekejaman rezim Pol Pot terekam apik dalam film The Killing Fields, berisi kisah nyata wartawan Dith Pran yang lolos dari ladang pembantaian itu.
Film yang dipuji para kritikus dunia sebagai salah satu film terbaik yang pernah ada dan memperoleh penghargaan di berbagai ajang festival film internasional dalam berbagai kategori. Pran juga yang melahirkan istilah the killing fields untuk lokasi pembantaian dimaksud.
Pol Pot berkuasa sejak 1975 setelah menumbangkan rezim Lon Nol lewat perang gerilya. Pol Pot pun akhirnya tumbang setelah Kamboja diinvasi militer Vietnam yang jadi seterunya pada 1979. Pol Pot lantas melarikan diri ke hutan dan memulai kembali perang gerilya, tapi tertangkap dan dihukum mati.
Baca juga: OPINI: Cancel Culture Terhadap Produk Pendukung Israel, Efisien atau Tidak?
Sebagian besar tentara Khmer kemudian menerima perdamaian lewat amnesti yang ditawarkan pemerintah Kamboja dan menyerahkan senjatanya.
Kini museum hantu itu terus dirawat pemerintah Kamboja dan dijadikan obyek wisata di samping Angkor Wat yang terkenal akan keindahan dan kemegahannya. Banyak turis manca negara datang ke museum itu untuk melihat jejak-jejak kekejaman rezim Pol Pot.
Tapi kenapa Pemerintah Kamboja terus merawat museum itu, bahkan mefasilitasi para turis untuk berkunjung? Jawabannya rekonsiliasi. Rakyat Kamboja sadar betul mereka harus berdamai dengan masa lalunya untuk bisa memulai kehidupan bersama yang baru.
Seperti Nelson Mandela yang memilih memaafkan lawan-lawan politiknya, rezim apartheid yang telah memenjarakannya selama 27 tahun yang menyiksa. Dengan kata maaf itulah Mandela yang kemudian jadi presiden berhasil membangun Afrika Selatan saat ini.
Di Indonesia juga ada "musem hantu" yang dikenal dengan nama monumen Pancasila Sakti. Terletak di Desa Lubang Buaya Bekasi, tidak jauh dari ibukota Jakarta.
Saya sempat 3 kali mengunjungi museum itu. Pertama kali saat SMP, sebagai rangkaian kegiatan Jambore Pramuka Nasional yang saya ikuti.
Dua kunjungan berikutnya bersama beberapa kawan aktivis HMI Makassar untuk investigasi kecil-kecilan setelah membaca berbagai literatur di luar versi "resmi" soal peristiwa G 30 S PKI, terutama yang ditulis para indosianist seperti Ben Anderson, Jhon Rossa, Ruth mc Vey, dan lain-lain.
Baca juga: OPINI: Menelisik Walk Out Sang Jaksa
Berbeda dengan museum di Kamboja yang sepenuhnya mengisahkan kekejaman pembantaian massal oleh rezim Pol Pot, museum Lubang Buaya lebih fokus mengglorifikasi kekejaman pembantaian para jenderal Pahlawan Revolusi.
Diorama di musem itu sama sekali tidak memuat jejak peristiwa pembantaian massal terhadap warga yang terjadi pasca peristiwa 30 September 1965.
Padahal, seperti terungkap dalam banyak laporan investigasi para jurnalis maupun lembaga HAM nasional dan internasional, termasuk Komnas HAM, diduga 500 ribu sampai 2 juta orang yang dituduh simpatisan PKI di seluruh Indonesia telah dibantai secara sadis menyusul "kudeta" PKI itu.
Saya sendiri hingga kini belum sepenuhnya yakin jika peristiwa 30 S PKI itu adalah gerakan kudeta yang diinisiasi sepenuhnya oleh PKI. Alasannya, semua kudeta yang pernah terjadi di dunia, selalu dilakukan oleh elit militer, atau elit politik yang didukung pasukan secara massif, dengan peralatan tempur yang lengkap pula.
Yang terjadi pada peristiwa 30 September 1965 hanya dilakukan oleh satu batalyon pasukan Cakrabirawa, tanpa rantai komando yang jelas dan terstruktur, minim persenjataan, bahkan tidak didukung alat komunikasi yang memadai seperti HT misalnya.
Tidak heran hanya dalam hitungan jam, para pemberontak itu mampu digulung pasukan Kostrad dipimpin Jenderal Soeharto beserta sejumlah pasukan dari Kodam Diponegoro yang konon telah disiapkan di Jakarta oleh Pak Harto beberapa hari jelang rencana kudeta itu.
Para sejarawan, terutama para indosianist, kukuh bahwa peralihan rezim Orla kepada rezim Orba murupakan kudeta elit militer beraliansi dengan kekuatan kapitalisme global yang kemudian dikenal dengan istilah Kudeta Merangkak.
Paling tidak ada 4 versi sejarah yang coba mengungkap peristiwa kelabu itu. 3 versi menyebut diinisiasi elit militer menyusul konflik di tubuh Angkatan Darat (AD), gabungan AD dengan PKI, atau AD dibantu oleh dan atas skenario Amerika (CIA), dan hanya versi resmi pemerintah yang tegas menyebut PKI sebagai dalang tunggal.
Seperti kata Winston Churcill, "Sejarah selalu ditulis oleh pemenang." Atau seperti kata Ariel Heryanto, guru besar Monash University Australia, "Sejarah tidak selalu berisi tentang peristiwa masa lalu, tapi kisah masa lalu yang ditulis orang masa kini untuk kepentingan saat ini."
Alih-alih melakukan rekonsiliasi seperti Kamboja, Indonesia lebih suka memelihara hantu-hantu itu dan membiarkannya gentayangan di benak jutaan warga bangsa, untuk sewaktu-waktu ditangkap dan digunakan bagi kepentingan politik tertentu.
Indonesia memang dikenal sebagai bangsa yang doyan memelihara hantu. Ada hantu Pocong, Wewe Gombel, Suster Ngesot, Kuntilanak, Suangge yang ditakuti serta dihindari, tapi juga ada hantu yang dirindukan seperti Si Manis Jembatan Ancol, atau hantu-hantu di Gunung Kemukus yang disembah dalam ritual untuk peroleh kekayaan secara instan.
Dalam konteks politik, selain hantu PKI yang dibiarkan terus gentayangan, kini muncul pula hantu "Dungu" peliharaan Rocky Gerung, juga hantu Gemoy versi PKS yang terus saja mengintai.
Maka rajin-rajinlah baca ayat Kursi bagi kaum muslimin, atau mengenakan salib bagi yang Kristen agar senantiasa terhindar dari terkaman hantu-hantu gentayangan itu.
Ba'da Subuh, 7 Desember 2023. (*)
(Penulis: Adalah Fungsional KAHMI, pernah menjabat Ketua Umum HMI Cabang Ujung Pandang)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.