Berita Buton
Melihat Aksara Korea yang Digunakan Suku Cia-cia di Kepulauan Buton Sulawesi Tenggara
Inilah keunikan Suku Cia-cia, salah satu etnis yang mendiami Kepulauan Buton, tepatnya di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara atau Sultra.
Penulis: Naufal Fajrin JN | Editor: Desi Triana Aswan
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Inilah keunikan Suku Cia-cia, salah satu etnis yang mendiami Kepulauan Buton, tepatnya di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara atau Sultra.
Sekira 15 kilometer ke arah timur dari Pelabuhan Murhum, Kota Baubau, ada 2 kelurahan yang dapat dikatakan unik.
2 kelurahan itu bernama Kelurahan Bugi dan Kelurahan Karya Baru. Keduanya sama-sama kelurahan di bawah Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau.
Sebagian besar masyarakat di 2 kelurahan itu beretnis Cia-cia, salah satu suku yang mendiami Kepulauan Buton.
Kepulauan Buton sendiri dapat diklaim sebagai salah satu wilayah yang memiliki kekayaan budaya.
Bagaimana tidak, pulau yang tak terlalu besar itu, menyimpan banyak bahasa yang berbeda-beda yang bahkan masih terjaga hingga saat ini.
"Satu-satunya pulau kecil tetapi memiliki 72 bahasa," ujar La Ali, salah seorang warga beretnis Cia-cia tulen yang telah lama mendiami Kelurahan Bugi, Jumat (15/9/2023).
Baca juga: Khas Kawasan Industri Morosi: Aksara China di Warung, Jalan Rusak Parah, Pincara Seberangi Sungai
Keunikan itu, dikatakan La Ali juga menjadi awal mula Suku Cia-cia memiliki kedekatan dengan budaya Korea.
Di sepanjang jalan di 2 kelurahan itu, Hangeul atau Aksara Korea terlihat kontras memenuhi beberapa plang penanda seperti halte, sekolah-sekolah, dan nama jalan.
Asal Mula Aksara Korea Digunakan Suku Cia-cia
"Bahasa Cia-cia itu belum punya Aksara," ujar La Ali saat ditemui di kediamannya.
La Ali merupakan salah satu tokoh yang turut terlibat dalam penggasasan ide penggunaan Aksara Korea dalam Suku Cia-cia.
Saat itu, ia menyambut kedatangan TribunnewsSultra.com di kediamannya dengan ramah.
Beberapa tahun silam, La Ali menyebut ada seorang peneliti berkebangsaan Korea Selatan bernama Profesor Chun Thay Hyun.
Setelah meneliti puluhan bahasa yang ada di Kepulauan Buton, Profesor Chun Thay Hyun mengaku tertarik dengan tuturan Bahasa Cia-cia yang ternyata memiliki kesamaan pelafalan dengan Bahasa Korea.
"Cocok dengan bunyi-bunyi Hangeul Korea," terang La Ali.
Singkat cerita, juga didukung dengan Pemerintah Kota Baubau yang saat itu masih dipimpin oleh Walikota Amirul Tamim, diutuslah sosok bernama Abidin ke Korea untuk mempelajari Aksara Korea pada 2009 lalu.
Proses pembelajaran itu berlangsung selama 6 bulan lamanya.
Usai mempelajari Aksara Korea, sosok yang bernama Abidin itu lalu kembali ke Kepulauan Buton dan mengajak La Ali untuk menyebarkan Aksara Korea tersebut.
La Ali yang juga beprofesi sebagai salah seorang guru menyanggupi.

Maka, hal pertama yang ia lakukan adalah mempelajari Aksara Korea itu secara langsung dari Abidin.
"Dia ajar saya di rumah," ungkapnya.
Usai mengusai Aksara Korea, barulah mereka mengajarkan aksara tersebut secara umum kepada masyarakat Suku Cia-cia di 2 kelurahan itu.
Upaya itu berbuah manis. 2012 lalu, Pemerintah Korea mengusulkan untuk mengirim delegasi guru untuk dapat mengenyam pendidikan terkait aksara di Korea secara langsung.
La Ali yang turut memberi kontribusi dalam pengajaran Aksara Korea kepada Masyarakat Suku Cia-cia juga turut diundang.
La Ali dan beberapa guru lainnya menjalani pendidikan di salah satu universitas di Korea Selatan selama 2 bulan lamanya.
Baca juga: Sidang Istimewa DPRD Baubau, Rancangan Perda tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Wolio
"Selama 2 bulan di sana, kami tidak mempelajari bahasa Korea, tetapi mempelajari aksaranya saja," ujarnya.
Kini, penggunaan Aksara Korea sebagai Aksara Suku Cia-cia semakin masif diajarkan di sekolah-sekolah.
Bahkan, La Ali saat ini terlibat dalam pembuatan kamus Bahasa Cia-cia Laporo - Indonesia - Korea edisi terbaru.
Aksara Korea dan Upaya Kolektif Mempertahankan Dialek Bahasa Suku Cia-cia
Awal mula penggagasan ide penggunaan Aksara Korea bagi Masyarakat Suku Cia-cia sebenarnya mengundang tanya dari beberapa pihak.
"Pada waktu itu, kadangkala orang bertanya kenapa kok menggunakan Aksara Korea."
"Tidak adakah bentuk tulisan yang dibuat khusus untuk Suku Cia-cia?" ujar La Ali sembari menunjukkan kamus Bahasa Cia-cia Laporo - Indonesia - Korea edisi pertama.
Kendati disorot seperti itu, La Ali tetap tak gentar. Pasalnya, upaya penggabungan Aksara Korea dan Bahasa Suku Cia-cia mendapat respons positif dari Pemerintah Kota Baubau.
Ia berpikir suatu saat pelafalan Bahasa Cia-cia bisa saja berubah lantaran tak memiliki aksara sebagai lambang pelafalannya.
Bahasa Indonesia sendiri pun tak mampu memberi simbol bunyi dalam Bahasa Cia-cia.

Fenomena berkurangnya penggunaan Bahasa Cia-cia dalam kehidupan sehari-hari adalah suatu keniscayaan.
Hal itu menjadi ketakutan tersendiri apabila tak ada aksara yang menjadi simbol khusus pelafalannya.
Kini, Aksara Korea menjadi hal lumrah ada di tengah-tengah kehidupan Masyarakat Suku Cia-cia.
Melewati sepanjang jalan di 2 kelurahan itu saja, nampak Aksara Korea menghiasi beberapa plang penanda.
La Ali percaya, pengajaran Aksara Korea dalam Bahasa Cia-cia adalah upaya kolektif pemeliharaan bahasa.
"Kalau memang mereka tidak terima, jelas dia tolak. Karena pemahamannya itu tadi, untuk memelihara bahasa saja supaya jangan punah," pungkasnya. (*)
(TribunnewsSultra.com/Naufal Fajrin JN)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.