Berita Wakatobi
Transisi Perjuangan Si Puan Pedagang di Wakatobi Era 70-an, Tangkis Patriarki dan Pengorbanan Mimpi
Berikut ini transisi perjuangan si perempuan pedagang di Kabupaten Wakatobi sejak era 1970an, tangkis budaya patriarki dan pengorbanan mimpi.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Desi Triana Aswan
Pasar Sentral Wangiwangi Selatan menjadi satu-satunya pusat perbelanjaan. Bangunan yang kokoh dan teratur menjadi kenangan dalam benak Siti Harlina.
Ia mengungkapkan para pedagang perempuan akan berkumpul dan memasarkan dagangannya yang beragam. Kebanyakan diantara mereka, menjual barang logistik atau kebetuhan rumah tangga sehari-hari.
"Kami menjual dipasar itu, gula dengan terigu dengan sabun, kebutuhan rumah tangga," tuturnya kepada wartawan TribunnewsSultra.com beberapa waktu lalu.
Barang-barang dagangan tersebut didatangkan salah satunya dari Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Saat itu, akses transportasi ke Kota Baubau adalah kapal laut yang terbuat dari kayu. Ia memesan barang-barang dagangan tersebut dengan cara menitip uang kepada orang kepercayaannya untuk berbelanja.
Pasalnya, Siti Harlina tak bisa bepergian jauh saat sang suami sedang berlayar.
Siti Harlina mengingat bagaimana para pembeli akan ramai berdesakan di Pasar Sentral. Tidak hanya berbelanja kebutuhan sehari-hari tapi pakaian, mainan, bahkan barang-barang thrift yang dikenal dengan sebutan rb atau rombengan.
Para pembeli ini datang dari berbagai kecamatan di Pulau Wangiwangi. Pasalnya pada saat itu, pasar bak sebuah tempat hiburan, sehingga masyarakat akan ramai berdatangan meski hanya sekedar mencuci mata melihat barang-barang dagangan penjual.
Dalam sehari, Siti Harlina membawa uang hasil dagangannya dari pasar selalu satu keranjang penuh.
"Waktu itu, kalau Wa Ina (sebutan Ibu di Wakatobi) laku di pasar satu keranjang," jelasnya.
Makassar Jadi Tempat Belanja Grosir Pedagang
Tak berselang lama, Siti Harlina pun akhirnya mencoba mengembangkan dagangan miliknya dengan berjualan pakaian. Ia pertama kali berangkat ke Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang saat itu masih dikenal dengan sebutan Ujung Pandang.
Siti Harlina bersama dengan pedagang perempuan lainnya akan ditemani para suami berbelanja saat tak berlayar. Perjalanan untuk sampai ke Kota Daeng teramat jauh kala itu. Maklum, akses transportasi laut yang terbatas.
Siti Harlina memulai perjalanan lintas provinsi dari Pelabuhan Pangulu Belo Wangiwangi Selatan Wakatobi menuju Pelabuhan Murhum Baubau. Lalu melanjutkan perjalanan dengan Kapal Pelni Rinjani hingga tiba di Kota Makassar.
Baca juga: Pasar Buah Kali Kadia Kota Kendari Digusur Bakal Direnovasi, Pedagang Disiapkan Lapak Sementara
Saat di Makassar tentu, Siti Harlina akan berbelanja di pusat grosir Pasar Butung. Tempat ini begitu fenomenal bagi para pedagang di wilayah Indonesia Timur. Pasar Butung ini dibangun sejak tahun 1917, dulunya bernama “Passer Boetoeng”. Dinamakan demikian karena dulu penduduknya didominasi orang Buton. Penyebutan nama "Boetoeng" kemudian menjadi kata "Butung".
Hal ini bak membuktikan bahwa banyaknya pedagang dari Pulau Buton (sebelum Wakatobi mekar), salah satunya Siti Harlina yang juga turut berbelanja di Pasar Butung.
perempuan
pedagang
Wakatobi
Sulawesi Tenggara
Wangiwangi Selatan
Pasar Sentral
Pasar Sentral Wangiwangi Selatan
patriarki
stereotipe
Pasar Butung
Profil Kompol La Ode Surahman Jabat Wakapolres Wakatobi, Perjalanan Karier Sempat Jadi Kernet Angkot |
![]() |
---|
102 Mahasiswa Baru Ikut Masa Ta'aruf, Ketua STAI Wakatobi Sultra Beri Pesan Tentang Golongan Manusia |
![]() |
---|
Mahasiswi Asal Wakatobi Novia Jushu Wakili Sulawesi Tenggara Ikut Ajang Duta Maritim Indonesia 2023 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.