Berita Konawe Utara
‘Harta Karun’ yang Hilang di Desa Boedingi, Kampung Suku Bajo Sulawesi Tenggara Sejak Tahun 2009
Kondisi warga Desa Boedingi, Lasolo Kepulauan, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Kala Suku Bajo tak lagi melaut mempertahankan jejak leluhur kala itu.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Desi Triana Aswan
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KONUT- Kepala Desa Boedingi, Aksar menunjukkan sejumlah foto tentang pemandangan desanya pada tahun 2009 sebelum banyak dihuni warga dan masih berstatus dusun.
Potret tersebut kini berbanding 180 derajat dengan saat ini. Nampak dalam foto, kondisi Boedingi begitu sejuk.
Pohon-pohon masih lebat dari kejauhan terlihat asri, tak ada satupun yang dibabat. Belum lagi kondisi laut yang tidak secokelat saat ini. Laut Boedingi dulu berwarna hijau segar di area tepi perkampungan. Rumah-rumah papan warga yang berdiri di atas lautan masih nampak alami.
Namun saat 2023, kondisi Boedingi sudah tak dingin seperti namanya. Jika panas maka akan begitu terik. Lalu saat musim hujan, sedimen turun ke area pemukiman warga. Bahkan biasanya air laut menutupi timbunan jalan yang telah dibuat warga. Dua pelabuhan jeti raksasa juga dibangun di samping kiri dan kanan desa.
"Kita mau apa mi juga, yang punyanya (penguasa)," tuturnya pasrah.
Aksar juga sempat mengungkapkan dulunya, Desa Boedingi menjadi tempat beroperasinya budi daya mutiara. Sebuah bangunan kecil budidaya mutiara yang ada di pulau seberang Desa Boedingi pun masih tersisa. Sebagai jejak pernah adanya ladang mutiara di tempat itu. Namun kini tinggal nama.
“Saya masih kecil juga dulu,” jelasnya mengingat masa itu.
Baca juga: Menerka Masa Depan Warga Desa Boedingi Kampung Suku Bajo Kala Dikepung Tambang Nikel
'Ada yang hilang dari Desa Boedingi', Kelurahan Boedingi, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Kalimat ini nampaknya sangat pas untuk menggambarkan kondisi Desa Boedingi dulu dan sekarang.
Desa yang hanya sepanjang 2,5 kilometer ini banyak menyimpan keindahan jarang diketahui. Bagi mereka yang mampir tahun 2023, tentunya akan melihat lokasi desa ditinggali 66 kepala keluarga itu kurang dari 100 rumah, mayoritas Suku Bajo. Bermukim di tepi laut Desa Boedingi. Tak ada yang tinggal di atas bukit. Ciri khas Suku Bajo pada umumnya.
Diapit sejumlah gugusan pulau, Boedingi terletak tepat di belakang tempat wisata andalan Konawe Utara, Pulau Labengki. Kondisinya berbeda jauh jika disandingkan.
Labengki yang indah panoramanya begitu eksotis, jauh berbeda dengan Desa Boedingi kini gersang dengan banyak cukuran. Pohon-pohon dulunya kokoh berdiri di atas bukit, sengaja ditumbangkan untuk mengeruk harta ore nikel di bawah tanah Desa Boedingi.
Kekayaan sumber daya alam nikel ini yang mencapai ratusan hingga ribuan ton, menjadikan Boedingi lebih indah dari tampilannya, tak seperti Labengki. Bagi investor tentu, ini menjadi santapan lezat untuk digarap lalu menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Sampai pada tahun 2012, Desa Boedingi akhirnya resmi dihuni sejumlah perusahaan tambang untuk siap mengambil jatah kekayaan nikel.
Sejauh mata memandang, nampak desa yang dihuni 241 jiwa (2023) itu nyaris gundul dicukur alat berat perusahaan pertambangan nikel. Tak ada yang menempati area atas bukit. Semua warga hidup di rumah yang dibangun di atas air laut.
Disitulah, La Mamma (55) dan istrinya menjalani hari-hari sejak 10 tahun lalu di Desa Boedingi. La Mamma menjadi warga pertama yang menempati Desa Boeding.
"Boh, dulu itu masih ada ikan di sini," tutur Mamma, seorang warga Desa Boedingi mengenang 10 tahun lalu masih menjadi nelayan.
Kalimat itu membuka awal perjumpaan jurnalis TribunnewsSultra.com kala bertandang beberapa waktu lalu di Desa Boedingi.
La Mamma menatap jauh ke arah air laut berwarna cokelat kemerahan alias keruh akibat sedimen nikel yang jatuh beterbangan bak debu atau tergerus air hujan.
Kenangannya terlintas sampai ke dasar laut. Ingatannya tak begitu kuat pada beberapa tahun silam.
Namun, jika memaksa untuk terus kembali mengenang, mungkin saja pada tahun 2007 lalu. Kala itu, ia bersama dengan sejumlah teman-temannya yang lain pindah dari Desa Boenaga ke Boedingi.

Adapun jarak dari desa tersebut jika merujuk pada Google Maps hanya sekitar 1,2 kilometer. Hidup berpindah-pindah di antara pulau yang ada di perairan Teluk Lasolo, merupakan cara La Mamma bertahan layaknya jejak leluhur keturunan Suku Bajo dahulu.
Perahu kala itu menjadi transportasi utama. Tentunya digunakan La Mamma untuk mengitari lautan dan mencari nafkah sebagai nelayan.
Kala itu, Desa Boedingi dalam ingatan La Mamma masih begitu asri, sejuk, dan alami.
Berbagai jenis ikan berenang-renang keluar masuk terumbu karang yang berada di sepanjang Desa Boedingi. Syahdu satu kata yang tergambar dalam benak La Mamma.
Belum lagi dengan ikan cakalang yang ada di laut desa, dekat dengan pemukiman warga. Rumah panggung yang berdiri di atas laut menjadi tempat hunian yang nyaman La Mamma dan keluarganya.
Ayah dari tiga anak ini, mengungkapkan jika ikan-ikan cakalang bisa terlihat jelas di bawah kolong rumahnya. Ratusan ikan cakalang berenang dari berbagai sisi bisa di tangkap menggunakan jaring hingga ditusuk parang. Sontong yang menjadi santapan lezat saat dimasak pun juga masih ada di area laut Desa Boedingi.
Terumbu karang masih sehat dengan berbagai warna dan keunikan juga menjadi hiburan anak-anak setempat. La Mamma setiap harinya akan mencari nafkah dengan mengitari Teluk Lasolo untuk mengambil ikan.
Baca juga: Tambat Labuh Kendari Bakal Jadi Dermaga Penyeberangan ke Pulau Labengki, Bakal Dibiayai Investor
Waktu yang dihabiskannya melaut pun tidak begitu lama. Saat subuh, ia akan keluar rumah, menyetir sampannya. Sang istri, Mewani setia menememani di atas perahu sambil berbincang. Mungkin saja, cara Mewani dan La Mamma saling mengungkapkan kasih sayang dengan berjuang bersama.
Setelah siang, ia pulang membawa ikan sebanyak mungkin, kurang lebih 10 kilogram. Hasil tangkapannya ini akan diolah menjadi ikan asin.
Lalu dikumpulkan lagi ke pengepul dan dibeli dengan harga Rp 25 ribu per kilonya. Setiap hari diungkapkan La Mamma, ia bisa konsisten mendapatkan ikan 10 kilogram hingga 20 kilogram.
Seakan tak meragukan lagi rezeki Illahi, La Mamma tetap percaya diri untuk mengambil ikan di laut yang kala itu melimpah. Namun, berjalannya waktu La Mamma memilih untuk berhenti saja menjadi nelayan.
"Tidak ada mi juga ikan," katanya.
Perlahan hasil tangkapannya berkurang, yang dulunya melimpah ruah kini La Mamma sudah bersyukur jika mendapatkan lima ekor ikan.
"Itu hanya untuk di makan saja," tuturnya sambil tertawa.

Sama halnya seperti La Mamma, Kepala Dusun II Januda juga merasakan nasib yang sama. Lansia 56 tahun ini, mengungkapkan bahwa dulunya mencari ikan adalah mata pencaharian utamanya.
Tak ada hari, tanpa pergi melaut dan mengambil ikan untuk dijual lalu disantap lezat oleh keluarganya.
Namun kini, ia berhenti melaut. Karena baginya, modal untuk menjadi nelayan lebih besar ketimbang hasil yang didapatkannya.
"Paling mahal itu bensin dibeli, apalagi kalau sudah keluar jauh dari sini (Desa Boedingi) pasti lebih mahal lagi dan banyak BBM dibeli," jelasnya saat ditemui TribunnewsSultra.com.
Baca juga: Penghasilan Nelayan di Kendari Turun Imbas BBM Naik, Sebut Sulit Dapat Solar hingga Banyak Calo
"Untung kalau pulang dapat banyak ikan, tapi sudah tidak seperti dulu mi lagi," jelasnya.
Lebih baik bagi Januda saat ini untuk tidak menggantungkan nafkahnya dengan menjadi nelayan. Secara tidak langsung, kini ia sudah kehilangan mata pencaharian utamanya sebagai nelayan.
Meski demikian, sesekali untuk mencukupi biaya hidup, sejumlah warga yang menganggur akan menjadi buruh pasir.
Bagaimana tidak, warga kehilangan mata pencaharian akibat musnahnya ekosistem laut yang ada di perairan Teluk Lasolo utamanya dekat dengan Desa Boedingi. Hal ini diduga karena sedimentasi ore nikel yang jatuh ke laut, menyebabkan ikan kehilangan rumahnya dan pergi jauh dari Boedingi.
Wanita di Boedingi
Seorang ibu yang enggan disebutkan namanya menuturkan keseharian di Desa Boedingi pada dasarnya sama seperti kehidupan manusia lainnya. Hanya saja sebagai masyarakat Suku Bajo yang hidup bergantung pada laut, kondisi saat ini cukup bertolak belakang seperti awal dirinya menempati Desa Boedingi. Bahkan untuk mengambil sendok besi yang jatuh ke laut dari sela-sela lantai rumah, rasanya saja sudah malas.
"Huh, sudah lumpur semua diinjak," tuturnya dengan dahi mengkerut.

Sosok wanita itu, memiliki suami yang bekerja di salah satu perusahaan tambang di Desa Boedingi.
Meski mendapatkan upah cukup menurutnya, namun tak menghapus kenangan indahnya Desa Boedingi yang dulu rimbun dengan pepohonan. Ibu dua anak itu juga kesusahan saat harus membereskan rumah. Pasalnya, jika pada musim kemarau aktivitas pertambangan sedang padat-padatnya.
Debu-debu yang berasal dari sedimentasi nikel akan beterbangan masuk ke dalam rumahnya. Menyelip di sela-sela pintu, jendela, hingga ventilasi udara. Lalu, sedimentasi itu akan menempel pada sederet perabot rumah, bahkan piring makan.
Kondisi ini setiap hari dihadapinya, terkecuali pada saat musim hujan, karena teras rumahnya akan dipenuhi dengan bekas tanah merah. Biasanya, ia akan menyiramnya terlebih dulu dengan air bersih di rumahnya.
Untuk persoalan air bersih, warga Desa Boedingi mendapatkan aksesnya. Warga sudah membuat bak penampungan air jatuh yang dialirkan ke setiap rumah dengan menggunakan pipa plastik. Namun kondisi air ini tidak menentu kadang jernih juga keruh.
Baca juga: Perusahaan Tambang di Sulawesi Tenggara Diwajibkan Reklamasi dan Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai
Belajar di Dekat Aktivitas Pertambangan
Hal lain juga dialami oleh anak-anak yang ada di SD Negeri 3 Lasolo Kepulauan ini. Sekolah yang berada tepat di samping blok perusahaan tambang nikel ini menjadi satu-satunya tempat pendidikan yang ada di Desa Boedingi.
Terkadang para siswa dan siswi ini harus membersihkan sekolahnya dari debu-debu sedimentasi yang menempel di bangku dan meja. Begitupula saat hujan, mereka akan melepas sepatu masing-masing demi tidak mengotori lantai sekolah.
"Terkadang mereka juga tidak fokus belajar," kata Jamal, Kepala Dusun I Desa Boedingi.
Ia mengungkapkan saat anak-anak sekolah mereka tidak akan fokus belajar karena melihat aktivitas pekerja tambang nikel.
Terlebih lokasi blok tambang nikel ini tepat berada di samping bangunan sekolah tanpa pembatas, sehingga suara-suara alat berat mengalihkan perhatian mereka dari guru yang mengajar.
"Mereka sepertinya lebih tertarik lihat alat berat," jelasnya sambil tersenyum.
Saat TribunnewsSultra.com memantau area Desa Boedingi yang hanya seluas 2,76 kilometer persegi ini, nampak anak-anak bermain riang di area pertambangan.
Bahkan lokasi pertambangan dijadikan sebagai lapangan sepak bola mereka. Tanah merah yang menempel pada kaki setiap anak, namun tak membuat mereka terganggu untuk tetap semangat bermain bola.
Dalam situasi lainnya, sejumlah anak juga begitu asik berenang di tepi laut. Mereka nampak riang melompat dari atas pelabuhan kayu. Saat diajak berbincang jurnalis TribunnewsSultra.com tentang malam tahun baru, ternyata mereka turut merayakannya.

Kembang api yang dibeli dari kampung sebelah, akan dibawa ke desa untuk dinyalakan.
“Naik perahu belinya,” kata seorang anak lelaki sembari berenang.
Begitupula saat membeli mainan dan baju baru. Namun, beberapa pedagang dari kota akan datang membawa segala kebutuhan di desa. Para pedagang ini membawa motor yang dinaikkan di atas kapal nelayan. Juga membawa barang dagangan lalu dijual pada warga Desa Boedingi.
Mulai dari handuk, baju, mainan, dan kebutuhan lainnya. Semuanya disediakan penjual keliling ini.
Mereka (penjual) datang berkelompok dari Kabupaten Konawe Utara pada pagi hari. Lalu nantinya berpencar ke rumah-rumah warga. Setelah itu, pulang di sore hari dijemput perahu nelayan yang disewakan.
Sedimentasi Menyelimuti Terumbu Karang

Satu hal yang jelas terlihat di Desa Boedingi adalah kondisi air laut yang sudah tidak sesegar dulu. Warna hijau berubah menjadi cokelat hingga merah. Diketahui, sedimentasi yang ada menyebabkan hal itu terjadi.
Habib Nadjar Buduha, seorang pemerhati laut yang sejak tahun 1999 fokus membawa misi keselamatan laut melalui Konservasi Kima Toli-toli Labengki yang dibangunnya. Bersama jurnalis TribunnewsSultra.com, Habib Nadjar turut melakukan penelusuran dalam liputan ini. Ia menyelam dari kedalaman 5 meter hingga 10 meter di tepi laut Desa Boedingi, turun dari pelabuhan kayu tempat perahu nelayan bersandar.
Selama menyelam, mantan jurnalis Kota Makassar ini, juga melakukan dokumentasi di dalam laut Boedingi. Nampak tak ada lagi yang tersisa selain lapisan sedimen nikel yang menutup terumbu karang.
Ia melihat ikan putih kecil yang berenang berkelompok mengitari laut yang sudah keruh itu. Habib Nadjar lantas mengukur sedimen dengan menggunakan tongkat. Didapati, yang menutup dasar laut dan terumbu karang sudah mencapai 1 meter hingga 4 meter. Kondisi ini kata Habib Nadjar begitu miris. Kurang dari 10 tahun lamanya, perusahaan tambang nikel beroperasi, sedimentasi yang ada sudah begitu tinggi di lautan.
“Bagaimana 10 tahun kedepannya?,” tanyanya usai menyelam di tepi laut Desa Boedingi.
Baca juga: Kaka Slank Sudah 2 Hari di Kendari Sulawesi Tenggara, Jajal Wisata Labengki hingga Ngopi Ala Warkop
“Itu tingginya sudah melebihi terumbu karang yang ada. Memang sudah tidak ada apa-apa lagi (di dalam laut). Jadi ekosistem itu, habis,” tuturnya.
Menurut, Habib Nadjar di perairan Teluk Lasolo ini, tempat Desa Boedingi berada memiliki sirkulasi arus pasang surut yang baik sehingga dulunya sempat dijadikan sebagai area budi daya mutiara.
“Salah satu indikasi lokasi yang bagus untuk budi daya mutiara, dipengaruhi oleh sirkulasi arus pasang surut,” jelasnya.
Bahkan dulunya, Habib Nadjar semasa kecil sempat bermain dan berenang di air terjun yang terletak di atas bukit Desa Boedingi. Air terjun tersebut bisa terlihat dari kejauhan saat berada di depan desa. Namun karena pepohonan sudah mulai ditebang membuat air tersebut sudah tak memiliki muara lagi dan menjadi kering.
“Sebelum, bubarnya budi daya mutiara. Saya beberapa kali bermain di air terjun itu. Tapi dulu belum berpenghuni. Ada satu atau dua rumah. Itu sekitar tahun 2000an,” jelasnya.
Kondisinya, sambungnya, Desa Boedingi begitu alami dan belum tersentuh dengan banyaknya aktivitas manusia. Habib Nadjar mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi wilayah Desa Boedingi yang kini jauh dari kata alami. Persoalan warga Desa Boedingi yang dikepung oleh aktivitas pertambangan nikel hanya satu contoh diantara yang lainnya.
“Prihatin ya, yang dikepung itu Boedingi salah satu contoh saja, tapi kan contoh yang lain juga seperti itu. Boenaga, Mandiodo. Perkampungan itu, tinggal di dalam kawasan tambang. Permasalahannya pun sama, tak ada solusi untuk pindah. Karena pada dasarnya mereka sudah tinggal disitu. Terlebih potensi nikelnya bagus, ya akhirnya terkepunglah,” jelasnya.
Habib Nadjar mengungkapkan kondisi ini dapat berubah, ketika pihak perusahaan dan pemerintah daerah bisa peka dan jeli melihat kerusakan ekosistem yang ada. Salah satunya, dengan membentengi area aktivitas tambang nikel dengan pagar beton.

“Yang kita harapkan itu, jangan sampai material tambang jatuh ke laut. Dan ketika musim hujan tiba, sedimen juga tidak jatuh ke laut. Namun hanya ada satu solusi sebenarnya, ya harus disemen atau dibentengi. Kemudian dibuat juga saluran air agar nantinya juga tidak mencemari laut,” katanya.
Ia juga mengungkapkan adanya aktivitas pertambangan nikel tidak hanya merusak eksosistem laut yang ada, namun juga memilik dampak lebih atau multiplier effect, salah satunya budaya.
“Dan itu terpaksa serta bersifat sementara. Sekarang ini kondisinya kan warga pasrah, menunggu rejeki dari bagi hasil (royalty) mereka sudah tidak tahu. Mau pergi melaut juga, ya satu sudah jauh dan membutuhkan biaya besar dan tak imbang dengan penghasilan. Ini sebuah indikasi ekosistem artinya ikan itu sudah pergi jauh meninggalkan tempat itu (Desa Boedingi),” jelasnya.
Pulau Labengki Terancam Kehilangan Eksistensi
Pulau Labengki yang tak jauh dari Desa Boedingi, terancam kehilangan eksistensinya. Seperti diketahui, kehidupan Sumber Daya Alam (SDA) laut Sultra memiliki kekayaan yang menunjang kehidupan masyarakat setempat.
Namun perlahan, kekayaan SDA tergerus beserta rusaknya ekosistem laut tempat dimana nelayan, sebagai mata pencaharian masyarakat ikut terimbas dampak aktitas pertambangan yang tak terkontrol.
Habib Nadjar membayangkan masa kelam dimana perlahan kehidupan manusia tak lagi seindah dan semudah saat ini.
Salah satu permasalahan yang terjadi saat oksigen tak lagi diproduksi plankton di laut akibat habitatnya ikut punah. Seperti diketahui, laut merupakan penghasil 50 persen hingga 80 persen oksigen di bumi.
Baca juga: Pesona Pulau Labengki yang Dijajal Kaka Slank saat Konser di Kendari Sulawesi Tenggara
Jika laut tercemar, maka oksigen yang masuk ke dalam tubuh manusia juga ikut tercemar. Menyebabkan dampak gangguan kesehatan yang mengancam kehidupan manusia pula.
"Kalau ekosistem lautnya rusak, maka tidak akan ada lagi yang memproduksi oksigen. Bayangkan, jika itu terjadi maka kita semua akan habis," tuturnya.
Habib Nadjar menegaskan terjadinya kerusakan ekosistem laut di wilayah perairan Pulau Labengki, dan sejumlah kawasan wisata lainnya seperti Pulau Sombori, dan Pulau Bawulu tidak lain akibat aktivitas pertambangan yang tak terkontrol. Sedimen tambang dibiarkan merembes ke lautan hingga perlahan mengenai rumah ekosistem laut atau terumbu karang sampai mati dan tak berkembang lagi.
"Sebenarnya yang bagi kami, kalau tidak salah secara regulasi para penambang ini punya kewajiban untuk menata wilayah tambang mereka agar sedimen itu tidak jatuh ke laut," jelasnya.
Terlebih saat musim hujan dan banjir melanda, sedimen tambang akan lebih mudah tumbah ke laut mengakibatkan kerusakan alam di laut.
"Nah kelihatannya tambang tambang ini tidak melakukan upaya itu, jadi harusnya kan di tembok, supaya tidak berdampak pada ekosistem yang ada," tuturnya.
Sama dengan Pelabuhan Jetty, sambungnya, harusnya ditembok sehingga saat proses bongkar muat dapat diantasipasi agar material tak sampai jatuh ke laut.

Menurut Habib Nadjar salah satu langkah jitu mengantisipasi sedimen tambang tak jatuh di lautan adalah menembok area pinggir pantai tempat aktivitas pertambangan berlangsung.
"Jadi itu kan harusnya di tembok itu aman dari dari ketika proses bongkar muat material tambang tidak jatuh ke laut, tapi fakta di lapangannya kan tidak seperti itu dibiarkan begitu saja gitu kan?," jelasnya.
Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dan stakeholder terkait, kata Habib Nadjar menjadi salah satu alasan aktivitas pertambangan bisa leluasa membiarkan sedimen tambang jatuh ke laut tanpa memikirkan dampak keberlanjutan.
"Berarti pengawasan yang tidak ada. Harusnya ada pengawasan wilayah kewenangan dari dinas terkait kalau kita berbicara kebijakan," tuturnya.
"Ini kan tanggung jawab mereka (pemerintah) sebenarnya, keputusan ini (perizinan aktivitas pertambangan) kan semua berizin artinya ini atas nama negara harusnya pelaksana di lapangan eksekutor di lapangan untuk memonitor segala dampak itu," jelasnya.
“Makanya kenapa kita sangat khawatirkan, 10 tahun kedepan Labengki dan Sombori hilang. Dalam artian sebagai kawasan wisata. Apalagi andalannya kan alam, terumbu karang, dan ekosistem yang sehat. Tapi kalau sampai sekarang tidak ada upaya daripada regulasi dan kebijakan teman-teman pengusaha tambang memikirkan nasib ekosistem ini dampaknya multi effect, tidak hanya merusak tatanan kehidupan masyarakat suku bajo tapi juga ekosistem laut yang ada,” pungkas Habib Najar.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sempat memperingatkan Pemerintah Daerah (PEMDA) terkait aktivitas tambang nikel di Konawe Utara (Konut). Sebab, aktivitas tambang nikel ini menurut KLHK menjadi ancaman nyata untuk kawasan Taman Wisata Alam Teluk Lasolo, khusunya Pulau Labengki.
Hal itu diungkap Kepala Subdirektorat Penguatan Fungsi dan Pembangunan Strategis Kawasan Konservasi, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), KLHK, Toni Anwar.
"Wilayah sini selain pengembangan wisata, ada juga tambang, ini saya kira perlu diperhatikan, jangan sampai ini terganggu," ujar Toni Anwar di Pulau Labengki, pada Sabtu (3/12/2022).
Untuk itu, Toni meminta pemerintah daerah melalui analisis dampak lingkungan yang sangat ketat. Sebab, dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan akan berpengaruh terhadap alam itu sendiri.
"Seperti adanya sedimentasi di laut, menghilangkan spot-spot di sini. Sehingga perlu keseimbangan antara PEMDA dan KSDAE untuk pengembangan wisata," tegasnya.
Meski saat ini, aktivitas tambang dan pengembangan pariwisata berjalan beriringan, tetapi belum memberi dampak berarti.
"Walaupun memang sudah sangat marak pembangunan untuk menyediakan mineral nikel, harapannya bisa diimbangi, mudah-mudahan tidak mengganggu kondisi alam," tandasnya.
Kata Ahli
Dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Kendari, Dwiprayogo Wibowo, S Si, M Si, pernah melakukan penelitian terkait dengan analisis kandungan logam nikel (Ni) dalam air laut dan persebarannya di wilayah perairan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 2019-2020.
Saat itu, persoalan nikel menjadi isu hangat di Bumi Anoa, sehingga ia bersama sejumlah peneliti lainnya melakukan Analisis Kandungan Logam Nikel (Ni) dalam Air Laut dan Persebarannya di Perairan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara. Hasilnya menunjukkan bahwa adanya hubungan aktivitas keramaian kegiatan masyarakat terhadap tingginya kandungan logam Ni yang terakumulasi dalam air laut Teluk Kendari. Berdasarkan baku mutu air laut untuk biota laut standar kandungan Ni dalam air laut sebesar 0,05 mg/L, sehingga pada T2, T3, T4, dan T5 dinyatakan telah melebihi ambang batas.
Tingginya konsentrasi logam Ni dalam lingkungan perairan Teluk Kendari disebabkan oleh berbagai faktor seperti aktivitas manusia yang menghasilkan beberapa limbah rumah tangga, penggerusan batuan atau lapisan tanah dari aktivitas pembukaan lahan baru dan pertambangan di sekitaran Kota Kendari.
Menurut pria yang sedang menemupuh pendidikan Doktoral Ilmu Lingkungan, Sekolah Ilmu Lingkungan, di Universitas Indonesia, kondisi lingkungan yang sudah berubah ini salah satunya diakibatkan dari air hujan yang membawa sedimen dari hulu ke hilir. Misalkan ada aktivitas (pertambangan) di atas gunung yang nantinya ketika kondisi hujan, sebagian air hujan mengalir di atas permukaan tanah dan membawa sejumlah partikel yang akan tertampung disekitaran bibir pantai. Terlebih adapula aktivitas masyarakat di wilayah tersebut yang menghasilkan limbah domestik yang dihasilkan.
“Tentunya itu yang bisa mengakibatkan apa yang disebut dengan pencemaran lingkungan. Sehingga kita mengambil 5 titik lokasi sampel di area Teluk Kendari, mulai dari di dekat Masjid Al Alam, Pelabuhan Perikanan Samudera, Wisata Agribisnis Kendari, Kendari Beach, hingga Pelabuhan Nusantara,” tuturnya saat dihubungi TribunnewsSultra beberapa waktu lalu.
Setelah diuji laboratorium ternyata, berdasarkan standar Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, ada sebagian yang tinggi.
“Itu 2019 sampai 2020, mungkin sekarang meningkat lagi tergantung dari data penelitian ya. Kalau dulu masih mungkin bisa memancing disekitaran pesisir teluk kendari dan memperoleh ikan yang besar dan dapat dikonsumsi, sekarang tidak bisa memperoleh ikan yang untuk dikonsumsi disekitaran Teluk Kendari karena kondisi lingkungannya sudah mulai berubah,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan dampak limpasan lumpur sedimentasi dari hasil penelitiannya pada tahun 2019 di Teluk Kendari itu, sangat berpengaruh dengan kondisi laut yang ada. Khususnya di wilayah Masjid Al Alam. Ia juga memastikan, sudah berkurang ekosistem ikan di wilayah tersebut.
Dwiprayogo Wibowo menjelaskan kandungan nikel ini bisa berpotensi mencemari lingkungan karena mudah terionisasi dan mengendap bentuk sedimen. Tak hanya nikel, namun berbagai ion-ion logam bisa larut di air laut. Pasalnya air laut bisa saja dalam kondisi asam atau basa.
Ia lantas mengambil contoh saat bekerja di area pertambangan Desa Marombo, Konawe Utara yang jaraknya 20,6 kilometer dari Boedingi. Berdasarkan pengalamannya, saat hujan turun sedimentasi juga banyak turun ke laut karena aktivitas tambang yang ada di atas bukit. Sebagai peneliti, ia mencurigai jika wilayah pesisir yang ada di Konawe Utara memiliki kandungan logam dari sedimentasi. Namun hal ini tak hanya sekedar menduga, melainkan perlunya mengambil sampel untuk diuji dalam skala laboratorium.
“Tapi harus didukung dengan data. Kalau hasil data berada diatas baku mutu air laut, berarti dapat dipastikan bahwa terjadi kerusakan atau pencemaran air laut. Nilai ambang batas merupakan batasan daya dukung lingkungan yang sudah tidak mampu mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya (UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH).. Harus ada data laboratorium dengan uji standar fisika, kimia, dan biologi. Kandungan material padatan di perairan yang keruh dapat diukur dengan metode Total Dissolve Solid (TDS) dan Total Suspended Solid (TSS),” jelasnya.
Pria yang mengambil S2 nya di Departemen Kimia, Pascasarjana, Universitas Halu Oleo juga mengungkapkan dalam menganalisis air, dilakukan mengukur empat jenis analisis mulai dari fisika, kimia, biologi,dan radio aktif. Namun peneliti biasa menggunakan tiga jenis analisis saja, yakni fisika, kimia, biologi.
Indikasi pencemaran laut yang terjadi juga bisa dideteksi secara analisis fisik. Meski demikian untuk ketepatan kandungan logam atau sedimentasi nikel yang diukur secara akurat hanya bisa dilakukan dengan uji laboratorium.
“Hanya saja secara fisik, identifikasi saya adalah jika ada aktivitas tambang boleh jadi (terjadi pencemaran). Kebolehjadian dapat membuat parah kondisi lingkungan atau berdampak minim pencemaran lingkungan,” tuturnya.
Saat melihat hasil dokumentasi TribunnewsSultra.com terkait dengan sedimentasi yang menutupi area terumbu karang di perairan Desa Boedingi dekat pemukiman warga, Dwiprayogo terkejut. Gambar yang didokumentasi dari kedalaman 10 meter itu, terlihat kondisi terumbu karang Desa Boedingi diselimuti sedimentasi yang tingginya mencapai satu hingga dua meter.

“Wah kasihan ya karangnya tertutup sedimentasi. Secara fisik, terlihat karangnya tertutup oleh sedimen.. ini bisa mengakibatkan pertumbuhan terumbu karang terhambat karena tertutup oleh sedimen sehingga sedikit memperoleh cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis,” jelasnya.
Seperti diketahui, saat terumbu karang musnah, laut akan menjadi keruh dan tercemar. Sehingga hewan seperti lumba-lumba akan hidup di air keruh dan perlahan mati. Selain itu, ikan-ikan kecil juga dapat punah karena kehilangan terumbu karang sebagai tempat tinggal.
Ia juga mencoba melihat dokumentasi TribunnewsSultra.com dari hasil bidikan drone. Nampak kondisi warna air laut yang ada di wilayah pemukiman warga Desa Boedingi berbeda-beda dengan jarak tertentu.
“Ketika saya lihat model airnya begini total solid nya lumayan tinggi (tapi harus dicek secara laboratorium) karena partikelnya terakumulasi dengan air. Total solid adalah partikel terlarut dan partikel suspensi yang terakumulasi dalam air,” jelasnya.
Menurutnya, jika akumulasi partikel solid dan kandungan logam terjadi maka biota laut tidak akan hidup di wilayah perairan tersebut, termasuk fitoplankton sebagai produsen primer, berperan penting dalam rantai makanan di perairan. Hampir seluruh ikan pelagis kecil dan larvanya memanfaatkan plankton (fito- plankton atau zooplankton) sebagai makanannya (Nontji 2008). Fitoplankton berperan sebagai bahan makanan dasar utama dalam siklus makanan di dalam perairan (Davis 1955). Fitoplankton dapat memberikan petunjuk untuk memantau terjadinya pencemaran dengan menggunakan indeks saprobitas.
Baginya, ketika fitoplankton sudah berkurang karena terkontaminasi sedimentasi, maka akan berpengaruh dengan ekosistem laut lainnya, termasuk ikan dan terumbu karang.
“Ikan akan bergeser, yang dulunya bisa ambil nelayan dengan radius 500 meter dari bibir pantai. Karena ada limbasan sedimen itu, sehingga sekarang ikan disitu sudah mulai tidak ada. Jadi ya, otomatis ikannya tidak mempunyai sumber makanan lagi, maka akan berpindah di tempat yang layak,” jelasnya.
Hal ini, sambung Dwiprayogo akan berpengaruh pula pada mata pencaharian nelayan yang hilang. Terlebih saat paradigma masyarakat mulai berpikir untuk sudah beralih profesi karena adanya peluang usaha yang lain.
“Itu lah tadi contohnya (Desa Boedingi) nelayan akhirnya alih profesi. Kalau sudah jauh mencari ikan, untuk apa saya jauh-jauh kalau disini sudah ada tambang,” celetuknya.
“Kalau dari saya, mungkin akan berpengaruh ke lingkungan, bagi nelayan tak akan bisa lagi mata pencahariannya. Cuman ingin survive mereka harus pergi lebih jauh dari lokasi tempat mencari ikan. Bisa juga sanitasi, kebersihan akan terganggu,” tandasnya.
Siapa yang Bertanggung Jawab Atas Kerusakan Lingkungan dan Pencemaran?
Ketua Komisi VIII DPR RI, Dr H Ashabul Kahfi menyebut Pemerintah Daerah paling bertanggungjawab masalah kerusakan lingkungan akibat tambang di Sulawesi Tenggara. Kata dia, sebab pemerintah daerah lah yang mengeluarkan dan memberikan izin penambangan tersebut terjadi.
Hal ini dikatakan Dr H Ashabul Kahfi saat menjadi pembicara dalam Kuliah Umum di Universitas Muhammadiyah Kendari pada Sabtu (18/2/2023)
"Tentu pemerintah daerah karena izin tambang dikeluarkan dari mereka. Perlu ditegakan aturannya, hutan kita dijaga, dilindungi. Pertambangan silahkan saja tapi harus dengan sesuai peraturan yang ada," katanya.
Dr H Ashabul Kahfi menerangkan pelaku industri pertambangan ini pun perlu adanya perhatian lebih terhadap ekosistem lingkungan yang ada.
"Bencana alam itu ada dua faktor yaitu karena siklus alam dan ulah manusia yang berkolerasi dengan bencana seperti pengrusakan hutan, dan tambang. Kalau dilakukan dengan serampangan tidak bertanggung jawab akan mengakibatkan bencana, menimbulkan banjir dan sebagainya," tambahnya.
Dinas Lingkungan Hidup Sultra Deteksi Pencemaran Dari Satelit
Meski belum lakukan pemetaan secara langsung, namun kemudahan akses digital membuat pemantauan pencemaran lingkungan pada laut Sulawesi Tenggara dengan mudah dideteksi melalui citra satelit.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsis Sulawesi Tenggara menggunakan platform digital untuk memantau titik lokasi terjadinya pencemaran itu. Kepala DLH Sultra, Andi Makkawaru saat ditemui TribunnewsSultra.com di ruangannya mengungkapkan, citra satelit free dengan skala resolusi rendah hingga tinggi sudah bisa digunakan untuk mendeteksi awal.
Diakuinya, luas pencemaran yang terjadi banyak ditemukan di area pertambangan. Baginya, sangat mudah melihat indikasi dan penyebab yang terjadi dari berbagai perusahaan aktif, khususnya saat melihat plot konsesi.
“Kalau indikasinya ada karena mudah saja kita lihat misalnya pertambangan kita tinggal plot konsesi wilayah pertambangannya di mana jetty nya, di mana yang kira-kira melakukan pencemaran karena tidak mungkin orang lain pasti mereka (perusahaan),” jelasnya kepada TribunnewsSultra.com, Jumat (10/3/2023).
“Beda dengan Izin Usaha Perkebunan, jika sebuah perusahaan aktivitasnya diduga menyebabkan sungai tercemar seperti sungai akibat perkebunan yang menggunakan pestisida besar-besaran, bisa terlihat indikasinya melalui aduan warga,” katanya.
Sedangkan pertambangan tidak menggunakan pestisida bisa langsung dideteksi menurutnya melalui warna air laut yang sudah berubah. Akibat sedimentasi yang bermuara dari sungai ke laut.
Baca juga: Tambang Nikel Serobot Kebun Seorang Ibu di Konawe Utara Sulawesi Tenggara, Harap Bupati Peka
“Kalau mereka tidak melakukan pengolahan umumnya itu akibat bukaan aliran hujan ke permukaan maka jadilah sedimentasi di laut karena muara dari sungai itu ke laut. Pasti sama mudah kita lihat sebenarnya cuman kan waktu itu paradigma teman-teman ini di area pembagian kewenangan DLH Sultra tidak bisa masuk dalam pembagian kewenangan itu,” tutur pria yang sempat mengemban jabatan sebagai Analisis Kebijakan Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Sultra.
Sayangnya, kapasitas kewenangan DLH Sultra sehingga tak bisa ditangani secara sepihak. Melainkan melewati prosedur dengan melakukan pembinaan menyurati Kabupaten atau Kota, jika tak mampu tertangani maka DLH Provinsi akan hadir membantu menengani permasalahan yang terjadi.
“Memang kita tidak bisa turun langsung tapi dengan menyurat ke kabupaten kota dan mereka menyampaikan ketidakmampuannya bisa kita turun membantu (penanganan pencemaran lingkungan,” jelasnya.
Andi Makkawaru mengungkapkan selama 20 tahun dirinya sempat bekerja di bidang pertambangan. Juga sempat mengisi jabatan Plt Kadis ESDM Sultra memang untuk persoalan sedimentasi sudah menjadi masalah besar yang terjadi saat ini.
Bahkan ia sudah mengetahui sektor pertambangan mana saja yang terindikasi mencemari area kawasan laut yang ada di Sulawesi Tenggara,.
“Kita sudah tahu sektor pertambangan mana saja yang ada di wilayah Kabupaten, sebut saja Konawe Utara itu sudah pasti (sedimentasi) dan itu telah menyerang terdeteksi di citra satelit yang tidak bisa bohong kemudian kedua Kolaka dan Kolaka Utara,” tuturnya.
Jika di pertambangan perkebunan, ia menyinggung deretan anggaran atau dana Jaminan Reklamasi. Dana yang disediakan oleh Pemegang Izin Usaha Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan Khusus sebagai jaminan untuk melakukan kegiatan Reklamasi. Dilansir dari situs https://ppsdm-geominerba.esdm.go.id/, reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki dan menata kembali kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Kegiatan reklamasi dilaksanakan setelah kegiatan penambangan selesai dilaksanakan, sehingga perusahaan wajib menyediakan dana sebelum kegiatan penambangan dilakukan sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi.
Penentuan besarnya jumlah dana jaminan reklamasi tambang seharusnya ditetapkan berdasarkan rencana biaya reklamasi yang disusun sesuai dengan pedoman penyusunan rencana reklamasi yang telah disetujui pemerintah untuk jangka waktu lima tahun sesuai peraturan perundang – undangan.
Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, perlu adanya kesamaan persepsi antara pemerintah daerah dan perusahaan dalam penentuan jumlah dana jaminan reklamasi maupun tata cara penempatan dan pencairannya sesuai peraturan perundang-undangan.
“Begitupula dengan kawasan hutan dan danau demi pemulihan fungsi lingkungan hidup,” jelasnya.
Namun, sambung Andi Makkawaru, saat ini Pemerintah Pusat untuk menentukan besaran dana Jaminan Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup itu belum memiliki pedoman yang jelas sehingga membuatnya ragu.
“Berbeda dengan pertambangan yang sudah ada pedomannya jadi pertambahan punya biaya langsung dan biaya tidak langsung sementara di lingkungan hidup ini belum,” jelasnya.
Baru-baru ini, saat dirinya dilantik sebagai Kadis DLH Sultra, Andi Makkawaru menyebut sementara mencoba penegakkan hukum. Namun tidak semerta-merta menjatuhi sanksi para pelaku pencemaran laut ataupun lingkungan. Ia menjajakinya secara bertahap. Terlebih dirinya yang baru menjabat dan sejumlah pejabat struktural lainnya.
“Kita coba sekarang kerjasama dengan Pos GAKKUM yang berada di Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Alhamdulillah mereka sudah turun bersama-sama melakukan penaatan. Jadi kita lakukan penaatan dulu sebelum melakukan sanksi.” jelasnya.
Andi Makkawaru mengungkapkan upaya ini dilakukan agar para sumber pencemaran itu taat dalam hal implementasi Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
Baru genap satu bulan menjabat, Andi Makkawaru mengklaim akan melakukan langkah awal untuk meningkatkan capacity building tingkat kepercayaan dari DLH Provinsi dalam rangka melakukan penegakan hukum yang disebut GAKKUM. Meski begitu, ia tak langsung bertindak pada hilir melainkan proses pembinaan lebih dulu pada perusahaan. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Karena masih Ramadan, kita sekarang melakukan pembinaan dulu dengan bersurat ke kabupaten kota” jelasnya.
Barulah setelah bulan suci, Andi Makkawaru akan melakukan aksi langsung dalam hal mengawasi perusahan dalam aktivitas pertambangannya di Sulawesi Tenggara, juga melibatkan Pos Gakkum dan Dirjen Gakkum.
“Kalau sesudah pembinaan tetap juga tidak dilaksanakan maka kami akan melakukan penyidikan,” jelasnya.
Diketahui, untuk saat ini surat persetujuan lingkungan yang dikeluarkan DLH Sultra sekitar 50 sampai 60 perusahaan yang terdiri dari berbagai sektor salah satunya pertambangan. Namun, yang baru bisa diawasi baru 28 perusahaan saja. Kadis DLH Sultra menyebut 20 perusahaan sisanya, bukan tidak diawasi tapi pengawasan dilakukan berbasis anggaran.

“Jadi pelaksanaan pengawasan berbasis anggaran. Sekarang kita data dulu untuk mengefesiensikan waktu, sehingga saat turun tidak lagi menggunakan anggaran pemerintah tapi menggunakan fasilitas dari kegiatan yang melakukan perubahan lingkungan,” tuturnya.
Ia juga menyebut, jika dulunya persetujuan lingkungan dikeluarkan berdasarkan kewenangan tempat perusahaan tambang beroperasi. Jika masuk dalam wilayah kabupaten maka yang mengeluarkan persetujuan lingkungan adalah kabupaten termasuk proses pengawasannya. Provinsi tidak wajib melakukan pengawasan.
Diungkapkannya pula, untuk kewenangan persejutuan lingkungan khususnya mineral logam paling besar di Sulawesi Tenggara. Namun tambang nikel menjadi kewenangan pusat sehingga pengawasan dilakukan lansung oleh pemerintah pusat pula.
“Sekarang kami ingin mengubah paradigma itu bahwa negara ini tidak boleh kosong maka untuk itu kita bersurat ke kabupaten kota untuk memastikan, apakah kabupaten kota sudah melakukan pengawasan terhadap persetujuan yang sudah diterbitkan kalau belum pemerintah provinsi akan turun membantu bersama-sama,” jelasnya.
Sanksi Bagi Pelaku Pencemaran Lingkungan Tak Cukup Hanya Penjara
Deretan sanksi, kata Andi sudah kerap kali diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan pemulihan lingkungan. Mulai dari sanksi kecil hingga yang terberat. Ia juga mengungkapkan
dalam hal menafsirkan sanksi berbeda-beda tergantung dengan jenis pelanggaran dan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Ia berasumsi jika pada dasarnya yang terpenting adalah biaya dalam rangka pemulihan lingkungan. Menurutnya, jika hanya merujuk pada hukuman memenjarakan pelaku kejahatan lingkungan ‘penjara penuh’.
“Harapan kami sebenarnya kita butuhkan biaya untuk melakukan pemulihan kembali mau dikerjakan oleh siapa itu hal lain tapi bagaimana dana itu bisa diperoleh untuk memulihkan kondisi lingkungan yang rusak,” jelasnya.
Sehingga, ia membutuhkan nilai manfaat untuk pemulihan fungsi kembali meski para pelaku kejahatan lingkungan sudah dihukum dalam penjara, namun perlu adanya keadilan ekonomi.
“Kalau terbukti melakukan kerusakan lingkungan maka seperempat dari keuntungannya itu dapat disita kira-kira begitu umpamanya itu namanya keadilan lingkungan bagi kami,” jelasnya.
“Kita mau mereka mengganti fungsi ekosistem yang sudah dirusak dengan beri nilai ekonomi tadi, buat apa kita masukkan orang di penjara tapi kalau tetap lahan terbuka tanah longsor, erosi tanah tetap berjalan. Kita tidak mau itu. Kita maunya dia di sanksi tahu kesalahannya dan ada upaya untuk melakukan upaya itu tadi (keadilan ekonomi),” pungkasnya.
KLHK Ingatkan Pemerintah Terkait Kerusakan Lingkungan
KLHK mencatat Sulawesi Tenggara (Sultra) jadi wilayah paling besar terdampak akibat industri pertambangan. Menanggapi hal ini, Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi menyebut akibat regulasi tumpang tindih sejalan dengan kewenangan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ali Mazi mengatakan harusnya, pemerintah daerah lah yang mengambil alih persoalan izin pengelolaan tambang.
"Kembalikan, harus. Kenapa? Ini kan mengelola daerah istilahnya rumah harus dikelola di rumah sendiri. Jadi peraturannya dikembalikan di provinsi " katanya pada Selasa (21/2/2023).
Gubernur dua periode itu bilang, dalam hal ini pusat bertugas memonitoring jalannya industri pertambangan di setiap daerah.
"Kita bantu Komisi IV dan Komisi VII untuk menyuarakan itu. Harusnya regulasi itu diberikan ke daerah kemudian pusat melakukan monitoring dan evaluasi," ujarnya.
"Karna tumpang tindih persoalan yang tidak selesai. Bagaimana penyelesaian tambang ini diambil alih di pusat. Bagaimana mereka bisa tahu," tambahnya.
Ali Mazi menerangkan pemerintah daerah akan leluasa menegakan persoalan jika aturannya dikembalikan ke daerah.
"Harusnya di daerah. Kami yang tahu persoalan itu. Kalau di daerah ini jelas kami pantau dan kami monitor setiap hari atau Forkopimda kami bisa saling mengawasi langsung," tuturnya.
"Kalau ada masaalah kami bisa mengundang mereka untuk menyelesaikan segera. Tapi kalau kita tidak selesaikan sama sekali, akhirnya berlarut-larut tiap tahun. Dan tak henti selesai," imbuhnya.
Sementara itu, Sekprov Sultra, Asrun Lio bakal menindak temuan ini dalam waktu dekat dengan meneruskan ke Dinas Lingkungan Hidup atau DLHK Sultra.(*)
(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)
Liputan ini merupakan Fellowship AJI Indonesia bekerjasama dengan Traction Energy Asia dan TribunnewsSultra.com
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.