Berita Wakatobi

Wa Toombuti Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Ulik Kisah Savannah Dari Pulau Tomia

Komunitas perempuan Wakatobi, Wa Toombuti turut mengkampanyekan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan mengulik kisah Savannah dari Tomia.

Istimewa
Komunitas perempuan Wakatobi, Wa Toombuti turut mengkampanyekan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan mengulik kisah Savannah dari pulau Tomia. Savannah adalah judul buku seorang penulis lokal Tomia, Wakatobi yang gagasannya berangkat dari kisah pilu seorang anak perempuan di bawah umur dituangkan dalam sebuah karya sastra dari torehan tulisan Ima Lawaru, yang juga merupakan guru di Pulau Tomia. 

Peristiwa naas yang menjadi latar belakang cerita Savannah terjadi pada tahun 2006 dimana segala ruang akses publik terbatas, mulai dari komunikasi ataupun informasi.

Kala itu Tomia begitu gersang, keindahannya masih alami.

Padang savanah luas membentang menjadikan salah satu pulau di Wakatobi itu identik.

Savannah, tokoh sentral dalam buku non fiksi yang dibuatnya namun dilatar belakangi kisah nyata.

Komunitas perempuan Wakatobi, Wa Toombuti turut mengkampanyekan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan mengulik kisah Savannah dari pulau Tomia. Savannah adalah judul buku seorang penulis lokal Tomia, Wakatobi yang gagasannya berangkat dari kisah pilu seorang anak perempuan di bawah umur dituangkan dalam sebuah karya sastra dari torehan tulisan Ima Lawaru, yang juga merupakan guru di Pulau Tomia.
Komunitas perempuan Wakatobi, Wa Toombuti turut mengkampanyekan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan mengulik kisah Savannah dari pulau Tomia. Savannah adalah judul buku seorang penulis lokal Tomia, Wakatobi yang gagasannya berangkat dari kisah pilu seorang anak perempuan di bawah umur dituangkan dalam sebuah karya sastra dari torehan tulisan Ima Lawaru, yang juga merupakan guru di Pulau Tomia. (Istimewa)

Kala itu, Savannah harus memupus mimpi masa kanak-kanaknya karena mengalami insiden pemerkosaan yang dilakukan pedofil.

Tubuh kecil Savannah masih tak mengerti dengan apa yang terjadi padanya. Belum lagi masyarakat  yang menghakimi Savannah.

"Karena memang kondisinya masih sangat tabu, menjadikan korban kekerasan sama hinanya dengan pelaku," jelasnya.

Ima Lawaru yang tak mampu membayangkan peristiwa menimpa Savannah menanggung kegelisahan bertahun-tahun.

Sampai akhirnya sekitar 10 tahun berlalu, Ima Lawaru memberanikan diri menulis kisah kelam di Pulau Tomia itu.

Baca juga: BEM Unidayan Baubau dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Tomia-Baubau Donasi Al Quran di Wakatobi

Pada tahun 2017, ia merilis buku tersebut walaupun  80 persen diakuinya berdasarkan imajinasi.

Meski demikian, Ima Lawaru menanamkan jiwa Savannah pada tubuhnya untuk merasakan pedih dan sakitnya menjadi korban kekerasan seksual.

Emosi yang terjadi diluapkannya dalam ribuan kalimat di buku Savannah.

"Karena saya berpikir untuk bertanya langsung pada korban saya tidak berani. Jadi saya mencoba mengambil pondasi dari awal kisah kelam Savannah dan saya mencoba untuk merasakan rasa sakitnya menjadi korban," tuturnya.

Diakui Ima Lawaru meski jurnalisme sastra yang dibuatnya tak begitu mendetail dan minim data, namun hal yang ingin disampaikannya melalui karya untuk mendorong kekuatan korban bisa mendapatkan keadilan.

"Karena keadilan yang benar-benar adil untuk korban sulit sekali didapati, bahkan saya tidak bisa menggambarkan keadilan macam apa yang harus diterima Savannah agar segala yang terjadi setimpal, " tuturnya.

Halaman
123
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved