Pelakor Hati-hati Karena Hukuman Sudah Final, Kumpul Kebo Dihukum 6 Bulan Penjara dan Didenda
Perebut lelaki orang ( pelakor ) menjadi momok yang menakutkan bagi istri sah dalam membina bahtera rumah tangga.
Penulis: Risno Mawandili | Editor: Risno Mawandili
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Perebut lelaki orang ( pelakor ) menjadi momok yang menakutkan bagi istri sah dalam membina bahtera rumah tangga.
Bagaiaman tidak, acap kali pelakor menjadi dalang bercerainya pernikahan sah itu sendiri.
Si pelakor sudah kumpul kebo dengan suami orang sehingga memicu ketidak harmonisan dengan istri sah.
Karena melampiaskan emosi, tak istri sah yang tak berdaya dihadapan suami akhirnya menggeruduk pelakor hingga terjadi adu jotos antara wanita.
Jelas adu jotos bukanlah solusi yang benar dalam penyelesaian masalah, apapun.
Baca juga: Video Viral, Pelakor Lagi Asik-asik dengan Suami Orang di Kamar, Langsung Digerebek Istri Sah
Akan tetapi, kemungkinan istri sah sedang menghadapi jalan buntu kerena sulit menyeret pelakor ke ranah hukum yang sah.
Seolah mendengarkan suara hati istri sah, kini bakal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur hukuman untuk pelakor.
Bakal KUHP atau masih dalam berntuk draf rancangan (RKUHP), secara gamblang mengatur soal pelakor ini.
Namun lebih luas, RKUHP ini disebutkan bahwa melarang kumpul kebo, bukan sekadar hubungan pelakor dengan si doi.
RKUHP bahkan akan memidanakan pasangan yang tinggal bersama tanpa status pernikahan.
Baca juga: Mertua Curiga Kamar Mantu Lampu Mati tapi Bau Rokok, Ternyata Sedang Selingkuh dengan Pria Beristri
Sebelumnya, soal hal ini diatur dalam pasal tetang perzinahan di KUHP. Namu banyak yang memandang pasal tersebut kurang tegas.
Aturan lama warisan kolonial Belanda terebut sudah tak selaras lagi dengan fenomena saat ini.
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menargetkan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tuntas dibahas Juli 2022.
Ia menerangkan bahwa ada aturan tentang kumpul kebo dalam RKUHP tersebut.
Namun kumpul kebo tersebut dalam bahasa draf RKUHP disebutkan dengan istilah kohabitasi.
Baca juga: Viral Video Detik-detik Pelakor dan Pria Paruh Baya Digerebek Istri Sah di Konawe Sulawesi Tenggara
Dalam penjelasannya, Eddy Hiariej menuturkan bahwa Pemerintah telah meminta satu hal yang harus dihapus dalam aturan tersebut.
Yakni mencabut ketentuan yang membolehkan kepala desa mengadukan adanya kumpul kebo.
"Mengenai kohabitasi, ketentuan pasal ini merupakan delik aduan," ujarnya dalam rapat dengan Komisi III DPR pada Rabu (25/5/2022), sebagaimana dikutip Kompas.com.
Pemerintah mengusulkan menghapus ketentuan kepala desa yang dapat mengajukan aduan karena kalau kepala desa bisa mengadu berarti dia sudah bukan lagi delik aduan," lanjutnya.
Draf RKUHP ini telah mencapai final. Karena itu, draf hari ini tinggal mengunggu pengesahan untuk diberlakukan.
Baca juga: Kata Komnas Perempuan soal Pembunuhan Dini: Suami yang Selingkuh Bisa Dilaporkan ke Polisi
Lalu bagaimana aturan kumpul kebo dalam sebagaimana yang tertera dalam final draf RKUHP?
Ada lima poin besar dalam Pasal 418 RKUHP tersebut, mengatur mengenai kohabitasi, yaitu:
1. Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya.
3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.
4. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
5. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
***
(TribunnewsSultra.com/Risno Mawandili)