Pasutri 16 Anak di Kolut
Cerita Pasutri Besarkan 16 Anak di Kolaka Utara: Istri Melahirkan Dibantu Tetangga di Rumah Panggung
Cerita pasangan suami istri atau pasutri besarkan 16 anak di Kolaka Utara (Kolut), Sulawesi Tenggara (Sultra).
Penulis: thamzil_thahir | Editor: Aqsa
TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Cerita pasangan suami istri atau pasutri besarkan 16 anak di Kolaka Utara (Kolut), Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pasutri tersebut adalah Kamaruddin Djiwa (56) yang merupakan seorang guru SD dan istrinya Najrah Kama (48).
Sejak menikah tahun 1997 silam, warga Desa Katoi, Kabupaten Kolut, Provinsi Sultra, ini sudah dikaruniai 16 anak.
Anak mereka terdiri dari 8 putra dan 8 putri.
Putri tertua bernama Nurfaaiqah yang kini berusia 25 tahun.
Baca juga: Rekorkah? Tuan Guru Kama-Nyonya Najrah; Pasangan dengan 16 Anak dari Pelosok Tenggara Sulawesi
Anak bungsu Zayyan Aqif Rahmani (2015) berusia sekitar 7 tahunan.
Sebanyak 16 buah hati Kamaruddin-Najrah tersebut lahir dalam periode 19 tahun hingga 2016 silam.
Dengan jumlah anak sebanyak itu, rerata tiap tahun sang ibu melahirkan 1 anak.
Pada awal Februari 2022 lalu, anggota keluarga Kamaruddin-Najrah pun bertambah.
Pertambahan itu seiring kelahiran anak dari Nurfaaiqah yang merupakan cucu pertama dari Kamaruddin dan Najrah.
“Semoga bisa ikuti jejak kami juga, bersyukur dan tetap ikhlas menjalani hidup,” kata Kamaruddin yang akrab disapa Tuan Guru Kama tersebut.
Daftar Nama Anak
Melalui WhatsApp Massenger, Jumat (4/3/2022) lalu, Kama, sapaan akrab Kamaruddin, mengirimkan daftar nama 16 anak dan usia anaknya itu.
Putri tertua bernama Nurfaaiqah (1997) dan anak kedua bernama Dhiyaa Fakhria (1998).
Kedua putri pertama ini lahir di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pangkep, Sulsel, tahun 1997 dan 1998.
Baca juga: Dalih Istri Meninggal, Sang Ayah Tega ‘Garap’ Putrinya Berulang-ulang hingga Hamil Anak Bapaknya itu
Anak pertama mereka lahir bersamaan dengan puncak krisis moneter dan orde reformasi melanda negeri.
Akumulasi krisis moneter, minimnya fasilitas, dan layanan medis, di pedalaman Teluk Bone itu, mereka berempat ‘merantau” ke tenggara.
Baru empat bulan di Katoi, sekitar 20 km dari Lasusua, ibu kota baru Kolaka Utara, Najerah hamil dan melahirkan anak ketiganya.
“Doa kami diterima, (Muhammad) Mufassir lahir tahun 1999, dan kini sudah 23 tahun dan akhir kuliah di Kendari,” katanya.
Secara beruntut tiga putri dan satu putra lahir dalam periode 4 tahun.

Mereka yakni Rizky Amaliah (2000), Sitti Atiyya (2001), Ainul Mardhiyah (2002), dan Abdullah Azzam (2003).
Najrah lalu “istirahat” dan tak melahirkan di tahun 2004.
Anak kedelapan, Abdurrahman An Nawawi (16), baru lahir tahun 2005.
Lalu berturut-turut lagi dalam 24 bulan (2006 dan 2007), lahir sepasang putra dan putri untuk anak ke-9 dan ke-10.
Anak ke-9, Abdurrahim As Sayuti yang pada tahun 2022 ini sudah duduk di bangku kelas 1 SMA Islam.
Baca juga: 93 Anak Yatim Piatu Ukraina Berhasil Kabur di Tengah Serangan Rusia: Kami Semua Ketakutan
Bersama Khalisatul Fikriah (14 tahun) yang kini duduk di bangku kelas III madrasah tsanawiyah (MTs).
Dalam kurun waktu tiga tahun 2009 hingga 2011, pasangan ini kembali dianugerahi dua putra.
Mereka yakni Muhammad Ainur Rafiq (12) dan Fakhrul Islam (11).
Selain itu, seorang putri, Rifyatul Azizah (10 tahun).
Tiga anak terakhir mereka juga lahir berturut-turut setiap tahunnya.
Baca juga: Momen Haru Istri Pembalap Kuntet Khalisa Tahan Tangis di Makam Suami, 2 Anaknya Menatap Pusara Ayah
Nazirah Syauqiyatul Jannah (2013), Auliyaa Rahman (2014), dan Zayyan Aqif Rahmani (2015).
“Yang bontot kini sudah kelas 2 SD di Katoi. Sama kakaknya mereka adalah murid generasi pandemi corona,” ujarnya.
Melahirkan di Rumah
Dari 16 anak mereka, hanya 2 di antaranya yang dilahirkan Najrah di rumah sakit (RS).
“Alhamdulillah, hanya Faiqaah dan Dhiyaa yang lahir di rumah sakit Pangkep (Sulsel),” kata Kamaruddin.
“Sebanyak 14 anak persalinannya di rumah panggung dibantu tetangga kami di Katoi,” jelas pria yang berasal dari Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) itu.
Alasan pasangan ini memilih tak melahirkan di fasilitas kesehatan, karena mereka tinggal di pelosok, jauh dari dokter dan bidan.
Kamaruddin terangkat jadi guru PNS di SDN 1 Katoi, Kecamatan Katoi, Kolaka Utara, sebelum orde reformasi.
“Mafhum meki kodong, kami ini guru di pelosok Sulawesi,” ujar Daeng Tombong, sapaan sayang Najrah untuk Kamaruddin.
Dia berkisah, kala itu jarak kampung Katoi ke Kolaka, ibu kota kabupaten sebelum pemekaran sekitar 87 kilometer (km).
Sedangkan, jarak Katoi ke Kota Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) sekitar 390 km ke timur.(*)
(TribunnewsSultra.com/Thamzil Thahir/bersambung)