HPN 2022

Agus Sudibyo Sebut Problem Media era Tranformasi Digital Ada Disrupsi hingga Berikan Rekomendasi

Anggota Dewan Pers paparkan permasalahan iklan yang dialami saat ini bagi media siber di Indonesia di tengah transformasi digital.

(Amelda Devi Indriyani/TribunnewsSultra.com)
Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo saat menjadi pengantar diskusi di Konvensi Nasional Media Massa pada HPN 2022, di Claro Hotel Kendari, Selasa (8/2/2022). 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Anggota Dewan Pers paparkan permasalahan iklan yang dialami saat ini bagi media siber di Indonesia di tengah transformasi digital.

Hal itu di sampaikan Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo pada Konvensi Nasional Media Massa pada Hari Pers Nasional atau HPN 2022 di Claro Hotel Kendari, Selasa (8/2/2022).

Bertajuk Membangun Kemandirian Relatif Media Terhadap Platform Digital uang digelar secara Hybrid.

Agus Sudibyo menyampaikan hasil sharing diskusi dewan pers dengan tema membangun model Media berkelanjutan dilaksanakan dewan pers pada November Desember 2021.

Di mana problem pers di Indonesia terkait dengan disrupsi dan posisi media massa khususnya di Indonesia di era transformasi digital hari ini.

Baca juga: CMO KG Media, Dian Gemiano Paparkan Tantangan Industri Media dan Periklanan di Pasar Digital

Agus mengatakan saat ini cara bermedia Media siber di Indonesia sangat tergantung pada apa yang terjadi dalam kontak sistemik.

Digitalisasi atau transformasi digital, yang unsur-unsurnya adalah fenomena internet of things, cloud computing, big data, machine learning atau artificial intelligence.

"Sebenarnya yang ada dalam lingkaran sirkuit ini bukan hanya media, tapi seluruh aspek kehidupan publik kita sekarang tidak terlepas dari lingkaran sistem ini," kata Agus.

Menurutnya lingkaran sistem ini dalam konteks kehidupan media menghasilkan banyak peluang, manfaat tapi juga menghasilkan disrupsi.

Ia menggambarkan kondisi dunia iklan digital nasional 5 tahun ini, di mana ada yang mengalami stagnasi, kemunduran, ataupun pertumbuhan.

Baca juga: CEO Tribun Network Dahlan Dahi Sebut Jurnalis Dilahirkan Tuhan Untuk Mengabdi Kepada Publik

Media-media konvensional mengalami pendapatan iklan perannya menurun, kecuali media televisi yang relatif konstan. Sedangkan yang mengalami pertumbuhan terus-menerus adalah belanja iklan digital .

Ia menjelaskan setidaknya ada 5 jenis belanja iklan digital yang terus tumbuh, seperti iklan pencarian, iklan Media sosial, iklan banner, iklan video dan iklan baris.

"Iklan pencarian sebagian besar dikuasai oleh Google yakni 38 %, iklan media sosial 30 % lebih dikuasai oleh Facebook, iklan banner 18 % dikuasai oleh media cyber Indonesia, iklan video otomatis dikuasai oleh YouTube ini," bebernya.

Sementara Media cyber Indonesia terbatas hanya di iklan banner dan iklan baris.

Agus menyampaikan disinilah ada problem yang dialami Media cyber Indonesia, yakni Iklan banner di Indonesia kurang lebih 75 % diperoleh melalui skema iklan programatik.

Iklan programatik merupakan jenis iklan di mana media tidak berhubungan langsung dengan iklan, tapi diperantarai oleh broker-broker teknologi yakni anak perusahaan Google, Microsoft dan lain-lain.

Baca juga: Jadi Pembicara HPN Kendari, CMO Kompas Gramedia: Media Massa Harus Siap Hadapi Transformasi Digital

"Masalahnya broker teknologi ini mengambil keuntungan sampai 80 %, jadi setiap rupiah iklan programmatic yang terjadi media hanya mendapatkan 26 % sampai 39 persen," kata Agus yang menutup data dari Digital Media Association.

Kata dia, Iklan digital tumbuh di Indonesia namun 75 % yang menikmati adalah platform digital Google dan Facebook khususnya sebagai pemilik inventory iklan terbesar dan sebagai pemilik teknologi perantara periklanan, juga sebagai broker teknologinya.

"Inilah disrupsi dalam konteks bisnis media digital hari ini," tegasnya.

Problem berikutnya, adalah dalam mendistribusikan konten publisher di Indonesia maupun di negara lain sangat tergantung pada platform Google maupun Facebook.

Menurut Agus, hal ini ada manfaatnya karena akses melalui Google maupun Facebook membantu media untuk mendapatkan traffic dalam waktu yang cepat dan instan, tetapi juga memiliki dampak buruk yakni rentan secara teknologi.

Di mana Google, Facebook bisa mengubah algoritmanya sehingga berdampak pada penurunan traffic.

Baca juga: 5 Rekomendasi & Kesimpulan Konvensi Nasional Media Massa Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari

"Hasil diskusi di dewan pers menunjukkan media-media yang kita undang akses langsungnya rata-rata di bawah 30 %, akses tidak langsungnya sangat dominan," ujarnya.

Selain itu, terkait brand recognition, lambat laun masyarakat berpikir mengakses konten dari Facebook atau Google, sehingga brand dari media atau publisher itu akan hilang.

Kemudian terjadi Indirect traffic atau akses tidak langsung itu tinggi sehingga memiliki problem disebut sebagai digital problematik, yakni media kehilangan kesempatan untuk menambang dan mengolah data pengguna dalam konteks digital.

"Jadi kepemilikan data pengguna sebagai tiang utama dari peningkatan vital dikuasai oleh platform meskipun sebenarnya platform berutang budi kepada publisher ketika mendapat data itu," ucapnya.

Baca juga: Konvensi Media Massa HPN Kendari 2022, Hadirkan Menko Polhukam Mahfud MD hingga CEO Kompas Gramedia

Dampak yang lain yakni sebagai journalisme clickbait atau tabloidisasi ruang pemberitaan, media iklan programatic paradigma adanya share biting traffic.

Ia menjelaskan, utamanya media mengejar traffic kemudian yang muncul komplain clickbait yakni konten yang dibuat untuk mengejar traffic klik sebanyak-banyaknya.

Hal itu merupakan problem ikutan dari ekosistem bisnis media yang sangat tergantung pada algoritma sistem konten yang disediakan oleh platform digital.

Untuk mengatakan dan menghadapi permasalahan tersebut, Agus menawarkan solusi yang bisa dilakukan Media siber di Indonesia di tengah perkembangan transformasi digital.

"Jika kita bicara tentang transformasi kira-kira transformasi digital, di saat yang sama kita harus berpikir kemandirian relatif," ujarnya.

"Artinya tidak putus hubungan sama sekali dengan Google dan Facebook, tetapi bagaimana kita bekerjasama dengan mereka, tapi kita memiliki kemandirian tidak sepenuhnya tergantung pada platform digital,"  bebernya.

Sekiranya ada beberapa hal yang direkomendasikan oleh Dewan Pers yakni pertama pentingnya media siber di Indonesia menjaga keseimbangan antara direct sales dan programatik.

Ia mengatakan jangan meninggalkan Iklan programatic sebab itu memberikan revenue baru kepada media. Namun tidak lebih dominan ke iklan programatic melainkan harus bisa menyeimbangkannya dengan direct sales.

Kemudian menyeimbangkan antara direct traffic dan indirect traffic. Artinya jangan sepenuhnya traffic milik sendiri diserahkan kepada platform, tetapi juga jangan meninggalkan sama sekali traffic yang telah didapatkan dari perantara platform digital itu.

"Jadi menjaga keseimbangan inilah sebagai pilihan realistis yang kita lakukan agar mandiri secara bisnis, sosial tetapi kita juga bisa memanfaatkan teknologi yang ada," ucapnya.

Selain itu, media-media di Indonesia dengan dipelopori asosiasi media saat ini harus mulai berpikir tentang membangun kemandirian data, sebab data pengguna sudah pasti adalah tiang dari sekarang atau nanti dan data ini tidak hanya dikuasai oleh platform digital.

Sehingga tidak kalah penting adalah untuk melakukan konsolidasi antar media berita.

"Hari ini kita menghadapi Facebook dan Google sendirian seperti batu melawan debu, tidak seimbang. Maka menghadapi Google dan Facebook, harus konsolidasi kolektif, maka beruntunglah media-media yang sudah menjadi bagian dari kelompok media yang besar," ujarnya.

Pihaknya merekomendasikan asosiasi media harus menjadi unsur konsolidasi dari anggota-anggotanya dan semacam konsorsium yang membantu anggotanya dalam berhadapan dengan platform Global. Jika tidak, maka yang terjadi adalah pertarungan tidak seimbang.

Selain itu, diperlukan juga aturan yang menjamin kesetaraan didepan hukum sehingga disinilah diperlukan peran pemerintah.

Peran negara bukan mengusir Facebook dan Google dari Indonesia tapi membuat sistem regulasi yang memungkinkan, jadi kesetaraan dalam iklim bisnis yang seimbang dalam konteks inilah muncul regulasi tentang Publishers Right.

"Kita membutuhkan regulasi baru yang tidak anti platform, tetapi untuk menciptakan suatu keadaan dimana aturan mainnya jelas, adil dan memberikan beban sekaligus tanggung jawab yang sama antara pihak perusahaan media nasional dan perusahaan media multinasional, dalam konteks Inilah kita perlu berbicara tentang apa itu publisher right," ucapnya. (*)

(TribunnewsSultra.com/Amelda Devi Indriyani)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved