OPINI
OPINI: Sang Jurnalis, Antara Idealis dan Kesenjangan Ekonomi
Peringatan Hari Pers Nasional atau HPN 2022 di Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, menjadi tahun ke 2 saya tak aktif di dunia Jurnalistik
Penulis : Kamaluddin SSi (Pengamat Sosial)
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Peringatan Hari Pers Nasional atau HPN 2022 di Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, menjadi tahun ke 2 saya tak aktif di dunia Jurnalistik. Kurang lebih 5 tahun saya menjadi kuli tinta, banyak sudah suka duka yang saya alami.
Berawal dari sebuah tawaran menjadi seorang kontributor, meliput berita daerah tentang demonstrasi di Perpustakaan Daerah, menjadi awal kemantapan saya menekuni aktivitas pemburu kabar berita.
Genap setahun setelah mengikuti beberapa seminar dan lomba menulis membuat saya selalu memacu diri bahwa saya harus terus belajar berkarya melalui seni merangkai kata.
Sebab, dibenak saya selain ini adalah salah satu wadah yang mampu membuat mantan pengiat kampus seperti saya kembali pada jalur kritis, pekerjaan ini juga menjanjikan secara jejaring elit pejabat.
Baca juga: OPINI: Mengenali dan Memahami Al-Quran dalam Kehidupan Kita
Memasuki tahun kedua, persoalan financial mulai menghantui, tuntutan gaya glamor dan aktivitas hura-hura secara perlahan menuntut mengikuti arus pusaran hedonis.
Sampai ketika diperhadapkan sebuah kasus peliputan tindak pidana hukum, yang dimana oknum pelakunya enggan terekspost oleh publik.
Tawaran sejumlah uang mengiurkan dan menjerat sikap idealisme, seolah bisikan setan berkata bahwa menutup aib seorang bukanlah sebuah dosa.
Arus pusaran jual beli menutup borok pemerintah daerah mulai muncul satu demi satu, karena kebutuhan duniawi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari menjadi persoalan paling serius, sehingga menjerat kejujuran dalam menyampaikan informasi publik.
Baca juga: OPINI: Politik Identitas Sulawesi Tenggara Dalam Struktur Masyarakat Indonesia
Banyak oknum Jurnalis daerah yang secara financial masih sangat jauh dari kata berpendapatan cukup, hal-hal kecil mulai disepelekan, bahkan saling menutup ruang dilakukan agar menjaga eksistensi pendapatan pribadi dan berakibat pada menutupi sebuah fakta.
Contoh kasus, hampir sebagian besar media yang memiliki kontrak kerjasama dengan pemerintah daerah akan bungkam dan tutup mata saat berita kurang baik menyambangi kinerja pemerintah.
Selain persoalan financial, para media juga harus menghadapi premanisme, dampak dari pemberitaan pejabat atau pimpinan perusahaan yang tak mau kegitan buruknya terekspost.
Banyak media lokal melakukan praktek-praktek jual beli ekspost berita, demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Meski tidak semua media tetapi hal ini menjadi sebuah rahasia umum para penggiat kabar berita.
Lalu bagaimana dengan para kontributor media nasional? Ya, kurang lebih hampir sama, namun tidak sebanyak media abal-abal bermodalkan situs website dan Id Card berlindung dari kata Pewarta.
Semoga melalui coretan ini, ada pelajaran yang dapat diambil, dan semoga para pewarta dapat keluar dari persoalan ekonomi sehingga independensi jurnalistik semakin tegak lurus. (*)