Berita Baubau

Mengenal Pakandeana Anaana Maelu, Tradisi Masyarakat Buton untuk Membahagiakan Anak Yatim Piatu

Masyarakat Buton memandang Pakandeana Anaana Maelu sebagai Lebaran bagi anak yatim piatu, digelar tiap 10 Muharam.

Penulis: Risno Mawandili | Editor: Laode Ari
Handover
Bupati Buton, La Bakri, sesaat sebelum menyuapi anak yatim piatu, Kamis (19/8/2021). Ritual Pekandeana Anaana Maelu. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM,BAUBAU- Setiap tahunnya Masyarakat Buton bakal memperingati Pakandena Anaana Maelu

Tradisi Masyarakat Buton ini sudah terjaga ratusan tahun, sejak masa Kesultanan Buton

Masyarakat Buton memandang Pakandenan Anaana Maelu sebagai Lebaran bagi anak yatim piatu, digelar tiap 10 Muharam.

Masa Kesultanan Buton, tepatnya pada tahun 1824, tradisi ini ditetapkan sebagai kewajiban bagi seluruh dermawan. 

Para dermawan diminta dalam seharian penuh membahagiakan anak yatim piatu.

Baca juga: Kompak, Warga di Buton Tengah Gotong-Royong Bangun Rumah untuk Nenek Diusir Anak Kandung

Dulu, masa Kesultanan Buton, Pakandeana Anaana Maelu menganjurkan memberi pendidikan layak kepada anak yatim piatu

Tujuannya, memberi kasih sayang ayah dan ibu kepada anak yatim.

Kamis (19/8/2021) siang, di Kelurahan Kadolomoko, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, digelar Pakandeana Anaana Maelu. 

Ritual ini dimulai dengan memandikan anak yatim. 

Seorang tetua adat di Kelurahan Kadolomoko, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, tengah memandikan anak yatimpiatu, Kamis (19/8/2021). Ritual memulai Pekansena Anaana Maelu.
Seorang tetua adat di Kelurahan Kadolomoko, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, tengah memandikan anak yatimpiatu, Kamis (19/8/2021). Ritual memulai Pekandena Anaana Maelu. (Istimewa)

Anak perempuan dibasuh dengan bunga "jampaka" sedangkan anak perempuan dengan bunga kamba manuru, sebanyak tiga kali. 

Menurut keyakinan, bunga "jampaka" melambangkan keperkasaan pria. 

Bunga "kamba manuru" lambang dari kelembutan wanita.

Ritual serupa juga digelar Pemerintah Kabupaten Buton. 

Gelaran Pekandean Anaana Maelu di Buton, sebagaimana rilis resmi Dinas Kominfo Kabupaten Buton. 

Dikutip dari buku "Haroa dan Orang Buton (2018)" karya Dr. Kamaluddin, salah satu penggiat budaya di Kota Baubau, menguraikan, tradisi ini bermula saat Sultan Ibnu Badaruddin Al Butuni menegur para punggawalnya perihal ibadah.

Baca juga: Pakaian Adat Sulawesi Tenggara Khas Suku Tolaki, Buton, Muna di Sultra

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved