Berita Konkep Terkini Hari Ini

Rancangan RTRW Konkep Disusupi Kepentingan Industri Tambang, Ancaman Besar bagi Masyarakat Konkep

Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) atau Pulau Wawonii, kini kembali dibahas. 

Istimewa
Demo masyarakat Pulau Wawonii di Kantor Bupati Konawe Kepulauan terkait Rencana RTRW Konkep, Senin 12 April 2021. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) atau Pulau Wawonii, kini kembali dibahas. 

Rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konkep, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Kementerian ATR/BPN berupaya mengalokasikan ruang tambang dalam rancangan RTRW Konkep

Hal tersebut membawa ancaman besar bagi warga dan pulau kecil Wawonii. 

Hal ini diungkapkan seorang warga Pulau Wawonii, saat diskusi publik terkait Rancangan RTRW Konkep Disusupi Kepentingan Industri Tambang, melalui Zoom, Jumat (16/4/2021). 

"Proses penyusunan rancangan Perda RTRW Kabupaten Konkep telah memperlakukan warga pulau secara diskriminatif dan dibahas di tengah pandemi Covid-19," kata warga Pulau Wawonii, Sarmanto. 

Menurutnya, lebih jauh upaya alokasi ruang untuk tambang itu mengancam keselamatan warga pulau yang mayoritas sumber perekonomiannya dari sektor pertanian atau perkebunan dan perikanan atau kelautan. 

Baca juga: Bupati Konkep Bertemu Napi Pemilu di Restoran Kendari, Ini Tanggapan Kepala KemenkumHam Sultra

Baca juga: Ini yang Dilakukan Bupati Konkep Usai Pelantikan, Foto-foto Bareng Tamu Tapi Enggan Lakukan Ini

Sebagaimana diketahui, Pulau Wawonii, meski telah mekar sejak tahun 2013 lalu, rancangan RTRW Konkep itu masih tertahan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN). 

Sehingga untuk kepentingan arahan dalam memanfaatkan ruang, Kabupaten Konkep masih mengacu pada RTRW Konawe, selaku kabupaten induk sebelum dimekarkan.

Adapun draft rancangan RTRW Konkep, selama ini tertahan di Kementerian ATR/BPN di Jakarta.

Hingga pada Selasa, 23 Maret 2021 lalu, kembali dibahas melalui Rapat Koordinasi Pembahasan Persetujuan Substansi RTRW Kabupaten Konkep di Kantor Wilayah BPN Provinsi Sultra.

Rapat itu dihadiri langsung oleh Asisten Bidang Pemerintahan Pemprov Sultra Basiran, Bupati Konkep Amrullah, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sultra Iljas Tedjo.

Juga didampingi perangkat daerah terkait seperti Bappeda Provinsi Sultra, Dinas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan pemangku kewenangan lainnya.

Salah satu isu strategis yang mengemuka, adalah terkait isu pertambangan.

Pemerintah, dalam rapat itu, membicarakan soal siasat untuk mengalokasikan ruang tambang, sesuatu yang telah lama mendapat resistensi dari warga pulau.

Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Muhammad Jamil menilai secara substansi, adanya alokasi ruang untuk pertambangan di pulau kecil Wawonii secara terang-terangan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dari Perda Kabupaten yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

"Substansi dari undang-undang itu adalah pemanfaatan ruang pulau kecil tidak diprioritaskan untuk pertambangan," ungkapnya. 

Selain itu, dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara, meski di batang tubuh perda tersebut tak ada alokasi ruang untuk tambang, tetapi pada bagian lampiran masih diselundupkan ihwal alokasi ruang untuk tambang

Terutama bagi perusahaan yang izinnya sudah terlanjur ada sebelum Perda RTRW disahkan.

Dalam rapat yang tidak melibatkan warga pulau itu, mengemuka opsi soal upaya untuk tetap memasukan alokasi ruang bagi sektor pertambangan. 

Wilayah-wilayah itu antara lain Kecamatan Wawonii Tenggara dan Kecamatan Wawonii Selatan.  

Di dua kecamatan itu, terdapat tiga perusahaan tambang yang izinnya masih aktif, yakni PT Derawan Berjaya Mining, PT Bumi Konawe Mining, dan PT Gema Kreasi Perdana.

Baca juga: Bingung Lihat Janin Nyangkut di Sungai, Anak 13 Tahun di Kolaka Lapor Ayahnya

Baca juga: BI Sultra Minta Antisipasi Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok di Sulawesi Tenggara, Ikan hingga Cabai

Sejarah perlawanan tambang

Secara historis, keberadaan industri tambang di Pulau Wawonii telah mendapat penolakan dari masyarakat.

Terhitung sejak PT Derawan Berjaya Mining yang hendak menambang pasir krom di Desa Polara dan Desa Tondongito, Kecamatan Wawonii Tenggara pada 2007 lalu. 

Warga yang khawatir dan terancam keselamatan dan ruang produksinya, kemudian melawan. 

Hingga puncaknya, pada Minggu, 8 Maret 2015, warga terpaksa membakar kompleks pabrik serta peralatan perusahaan. 

Akibatnya, 14 warga luka-luka akibat represif aparat keamanan dan satu orang mendekam di penjara karena dituduh sebagai pimpinan pembakaran perusahaan PT Derawan Berjaya Mining.

Resistensi warga terhadap tambang tak berhenti di situ. 

Sikap ngotot pemerintah yang abai terhadap aspirasi warga, juga terjadi ketika PT Gema Kreasi Perdana (GKP) hendak menambang nikel di Pulau Wawonii

PT GKP yang membangun jalan tambang ke wilayah konsesi, dengan menerobos lahan-lahan milik warga, memicu konflik yang besar dan berkepanjangan. 

Sebanyak 28 warga dikriminalisasi dengan tuduhan mengada-ada, mulai dari perampasan kemerdekaan, ancaman, penganiayaan, hingga pencemaran nama baik. 

Padahal, warga hanya sebatas mempertahankan tanah airnya sendiri, sebagai penopang utama kehidupan, termasuk membiayai pendidikan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi.

Tak hanya itu, terminal khusus (tersus) milik PT GKP yang dibangun di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, juga tidak diatur (melanggar) dalam Perda Sulawesi Tenggara Nomor 9 Tahun 2018-2038 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). 

Kini, ancaman itu semakin besar dan kompleks, ketika Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kementerian ATR/BPN berupaya mengalokasikan ruang tambang dalam rancangan RTRW Konkep.

Proses pembahasan rancangan RTRW Konkep itu tampak memperlakukan warga Pulau Wawonii secara diskriminatif, tanpa ada pemberitahuan dan pelibatan, serta berlangsung di tengah pandemi Covid-19. 

Bahkan, secara substansi, upaya alokasi ruang tambang di pulau kecil Wawonii bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dari Perda Kabupaten.

Seperti, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang, substansinya, pemanfaatan pulau kecil tidak diprioritaskan untuk tambang. (*)

(TribunnewsSultra.com/ Amelda Devi Indriani)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved