TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Kawasan karst Matarombeo di Kabupaten Konawe Utara (Konut) dan kawasan karst Liangkabori di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) diusung menjadi Geopark atau taman bumi.
Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Sultra, Belli Harli Tombili mengatakan upaya itu dilakukan untuk melindungi warisan geologi bernilai tinggi di Sultra.
Utamanya dari incaran para penambang, mengingat kawasan kars tersebut memiliki unsur-unsur geologi terkemuka (outstanding). Salah satunya yakni pertambangan semen.
Apalagi kedua kawasan kars itu memiliki nilai arkeologi, biologi, dan budaya yang ada di dalamnya merupakan warisan leluhur.
"Kenapa? Kita harapkan dua kawasan ini secepatnya naik status menjadi geopark. Kalau statusnya menjadi geopark, tambang nggak bisa ganggu ini. Kebayang nggak lukisan yang ada di Liangkabori dan lukisan yang ada di Matarombeo suatu saat hilang karena adanya pertambangan. Makanya itu kita tidak mau karena sejarah kita punya nenek moyang dan leluhur ada di sana semua," ujarnya.
Menurutnya kehadiran tambang dapat merusak berbagai destinasi pariwisata yang ada di Sultra.
Salah satu langkah yang dilakukan Dispar adalah dengan menjalankan konsep Seven Wonders, di mana kedua kawasan kars itu dapat dilindungi.
Baca juga: Sukses Gelar Toronipa Fun Bike, Dispar Sultra Akan Hadirkan Fun Run di Jalan Wisata Kendari-Toronipa
Namun, menurutnya konsep Seven Wonders ini dirasanya kurang cukup melindungi kedua kawasan kars itu, sehingga diharapkan statusnya naik menjadi Geopark.
"Contoh, orang dari daerah lain melihat Sultra tertariknya masalah tambang, makanya kita di Dispar getol sekali dengan konsep seven wonders," ujarnya.
"Di Liangkabori itu lukisannya berusia lebih 5 ribu tahun dan lukisan di Matarombeo peradabannya tua sekali, makanya konsep seven wonders ini kita lahirkan harapannya satu, interkoneksi. Kalau interkoneksi semakin bagus maka Sultra tidak akan kalah terkenal dengan NTB, Bali dan NTT. Kita akan menjadi pemain pariwisata di level atas," tambahnya.
Pengusungan Geopark itu masuk dalam upaya Dispar mengembangkan pariwisata di Indonesia dengan tren sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan.
Sebab dalam destinasi pariwisata, secara ekonomi harus berkelanjutan. Sehingga masyarakat sekitar betul-betul menikmati dampak adanya kepariwisataan tersebut.
"Jadi mereka tidak hanya menonton saja, tapi terlibat di dalamnya, mereka ikut mengelola," bebernya.
Selain menumbuhkan perekonomian, masyarakat sekitar kawasan wisata itu juga diminta untuk tetap menjaga budaya setempat.
"Kita tidak mau orang datang ketempat kita, tapi budaya setempat tu pelan-pelan hilang karena berbaurnya percampuran antara orang dari luar. Kita harapkan budaya asli kita sulawesi Tenggara itu masih terjaga," ucapnya.
(TribunnewsSultra.com/Amelda Devi Indriyani)