TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Hasil perundingan damai antara Kyiv dengan Moskow dilaporkan bahwa Rusia bersedia membiarkan Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Namun dengan syarat jika Ukraina tak bergabung menjadi anggota dari NATO.
Dilansir TribunnewsSultra.com dari Forbes, Rusia dapat mengizinkan Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa jika berjanji untuk tetap berada di luar NATO, Financial Times melaporkan Senin (28/3/2022).
Yakni ketika para pejabat Ukraina mengungkapkan keterbukaan terhadap janji netralitas sebagai bagian dari negosiasi yang lebih luas untuk mengakhiri invasi Rusia di negara itu.
Baca juga: Rangkuman Hari Ke-34 Perang: Rusia Lanjutkan Serangan Rudal dan Rebut Chernobyl, Ukraina Rebut Irpin
Negosiator Rusia dan Ukraina sedang mempertimbangkan kesepakatan potensial yang akan mengharuskan Ukraina untuk netral secara militer.
Antara lain melarang Ukraina bergabung dengan NATO atau menjadi tuan rumah pangkalan asing.
Tetapi mengizinkannya untuk mencari jaminan keamanan dari negara lain dan mengejar keanggotaan UE.
Politisi sekaligus perunding Ukraina David Arakhamia mengatakan bahwa jaminan keamanan ini dapat mengharuskan negara-negara seperti Amerika Serikat untuk membantu Ukraina jika diserang.
Baca juga: Uni Eropa Berencana Salurkan Dana Miliaran Euro Hasil Penyitaan Aset Rusia kepada Ukraina
Sebuah pengaturan yang ia bandingkan dengan aturan pertahanan kolektif Pasal 5 NATO.
Diketahui bahwa negosiator dari kedua belah pihak yang berkonflik itu telah bertemu untuk pembicaraan gencatan senjata beberapa kali sejak Rusia menginvasi Ukraina.
Hingga akhirnya perunding Rusia dan Ukraina kembali bertemu lagi di Istanbul, Turki pada Selasa (29/3/2022).
Masih belum jelas apakah kesepakatan antara Ukraina dan Rusia sudah dekat.
Baca juga: Hasil Perundingan Rusia-Ukraina di Turki Dianggap Positif, Zelenskyy Tak Percaya: Jangan Lengah
"Masih ada poin yang belum terselesaikan di antara kedua belah pihak, dan beberapa pejabat Ukraina dan Barat tampaknya meragukan ketulusan Rusia." ujar Arakhamia kepada Financial Times.
Sejak invasi ini, banyak pejabat Barat percaya bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin berusaha menggulingkan pemerintahan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Serta menggantikannya dengan pemimpin yang lebih pro-Kremlin.
Langkah itu akan secara efektif mengakhiri dorongan terus-menerus Ukraina untuk mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan NATO dan Uni Eropa, sebuah langkah awal yang ditentang keras oleh Rusia.
Baca juga: Sederet Peristiwa Hari Ke-34 Perang Rusia-Ukraina: Serangan Siber hingga Perundingan Damai di Turki
Namun, militer Rusia telah berjuang melawan perlawanan Ukraina yang lebih keras dari perkiraan, mungkin membuatnya mengurangi ambisinya.
Kremlin mengatakan awal bulan ini pihaknya terbuka untuk netralitas bagi Ukraina di sepanjang garis Austria atau Swedia, yang keduanya juga bukan anggota NATO.
Zelenskyy juga tampaknya terbuka untuk status netral.
Dia mengatakan kepada wartawan Rusia pada Minggu (27/3/2022) bahwa dia bersedia untuk berbicara tentang netralitas selama warga Ukraina dapat memberikan suara pada tindakan tersebut.
Baca juga: Diserang Rusia, Zelenskyy Desak Ingin Jadi Member Uni Eropa, Ini Keuntungan Ukraina Jika Gabung UE
Serta negara-negara pihak ketiga memberikan jaminan keamanan kepada Ukraina.
Selain itu, Zelenskyy juga telah mengakui dalam beberapa pekan terakhir bahwa NATO tidak mungkin segera mengakui Ukraina.
“Jaminan keamanan dan netralitas, status non-nuklir negara kita. Kami siap untuk melakukannya," ujar Zelenskyy kepada wartawan pada Minggu (27/3/2022), menurut terjemahan Reuters.
Ukraina sendiri diketahui meloloskan amandemen konstitusi pada 2019 yang mengabadikan keanggotaan NATO dan UE sebagai tujuan negara.
Baca juga: Bertemu Tatap Muka di Turki, Gencatan Senjata Jadi Fokus Ukraina dalam Perundingan dengan Rusia
Tetapi kemajuannya lambat, meskipun NATO mengumumkan pada 2008 bahwa pada akhirnya akan mengakui Ukraina.
Keanggotaan Uni Eropa juga merupakan proses yang memakan waktu serta akan memaksa Ukraina untuk memenuhi persyaratan politik, ekonomi dan hukum.
Selain itu juga harus mendapatkan dukungan suara bulat dari 27 negara anggota UE.
(TribunnewsSultra.com/Nina Yuniar)