TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Sejumlah sanksi dari berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa terus dijatuhkan terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina.
Bantuan kemanusiaan dan perlatan senjata militer pun digencarkan kepada Ukraina untuk melawan serangan pasukan Rusia.
Namun, disebutkan bahwa sanksi terhadap Rusia dan bantuan senjata untuk Ukraina tidak akan menyelesaikan konflik yang sedang memanas itu.
Dilansir TribunnewsSultra.com dari Sputnik, Jerman bergabung dengan sekutu AS dan Eropa-nya dalam menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia sebagai tanggapan invasi di Ukraina.
Jerman juga bergerak menonaktifkan pipa gas Nord Stream 2 atas langkah Rusia yang mengakui Republik Donbass, wilayah separatis Ukraina sebagai negara merdeka.
Baca juga: Saling Jatuhkan Sanksi, Rusia Masukkan Presiden AS Joe Biden dan Petinggi AS Lainnya ke Stop List
Krisis di Ukraina, juga telah mendorong Berlin untuk mengubah arah kebijakan lama menahan diri dari pengiriman senjata mematikan ke Kiev.
Namun, Anggota parlemen Bundestag Die Linke (Kiri) Sahra Wagenknecht menyebut dengan membanjiri Ukraina dengan senjata dan menempatkan pembatasan baru di Rusia hanya akan memperpanjang krisis saat ini.
Serta tidak akan menyelesaikan perang antara pasukan militer Rusia dengan Ukraina.
“Setiap hari orang-orang sekarat di Ukraina. Ada penderitaan tanpa akhir dan negara ini (Ukraina) sedang dihancurkan lebih jauh dan lebih jauh." ujar Wagenknecht dalam wawancara dengan Welt yang diterbitkan Senin (14/3/2022).
"Baik sanksi maupun pengiriman senjata tidak akan menghentikan kengerian ini. Jika Anda ingin mengakhirinya, Anda harus bernegosiasi,” sambungnya.
Baca juga: Peristiwa Hari Ke-20 Perang Rusia Vs Ukraina: 97 Anak Tewas, Hasil Pembicaraan Ronde Keempat
Mengomentari persyaratan perdamaian yang diajukan oleh pihak Rusia minggu lalu, termasuk demiliterisasi Ukraina dan status netral, Wagenknecht menyarankan bahwa ini adalah titik awal yang baik untuk negosiasi.
“Militer mengatakan Ukraina tidak bisa memenangkan perang ini. Siapapun yang ingin pasukan Rusia mundur karena itu harus menawarkan sesuatu kepada Rusia. Netralitas yang dijamin akan masuk akal karena berbagai alasan. Apa arti demiliterisasi adalah sesuatu yang harus dinegosiasikan, ” ungkap Wagenknecht.
“Kritik Rusia selalu merujuk pada upaya untuk mempersenjatai Ukraina dengan senjata ofensif, dan integrasi merayap negara itu ke dalam NATO. Lagi pula, sudah ada 2.000 tentara AS di Ukraina, dan latihan NATO sedang berlangsung di wilayahnya,” jelas Wagenknecht.
Wagenknecht juga menuturkan bahwa janji NATO kepada Ukraina untuk menjadi anggotanya tak akan membantu Kiev dalam menghadapi invasi Moskow.
“Janji keanggotaan NATO tidak membantu Ukraina,” sebut Wagenknecht.
Baca juga: UE dan AS Termasuk, Para Ahli Ungkap Negara Mana yang Diuntungkan dari Perang Rusia-Ukraina
Wagenknecht pun menyarankan bahwa solusi yang dinegosiasikan untuk krisis saat ini hanya mungkin jika kedua belah pihak siap untuk bergerak menuju satu sama lain dan setuju untuk berkompromi.
Diminta untuk membenarkan penolakan lanjutan Die Linke untuk mendukung kebijakan pemerintah mengirim senjata ke Ukraina, Wagenknecht yakin bahwa senjata yang dikirim ke Kiev hanya 'memperpanjang konflik'
Tetapi, lanjut Wagenknecht, tidak akan membuat Ukraina memenangkannya.
Untuk melakukan itu, Wagenknecht menilai NATO harus terlibat secara militer dengan cara yang sejauh ini dikesampingkan oleh semua politisi yang 'berakal'.
Karena itu akan berarti konfrontasi langsung dengan Rusia, dan Eropa dapat menjadi medan perang nuklir.
Baca juga: Sederet Fakta Hari ke-20 Invasi Rusia di Ukraina: China Bantu Rusia, Joe Biden Akan Gerilya di Eropa
Dengan demikian, Wagenknecht menyatakan bahwa setiap langkah ke arah ini 'tidak bertanggung jawab'.
Pekan lalu, Kanselir Jerman Olaf Scholz berkomitmen untuk menghabiskan tambahan 100 miliar euro atau 113 miliar dilar untuk militer, dengan pengeluaran termasuk pembelian lusinan jet tempur F-35A.
Dalam wawancaranya dengan Welt, Wagenknecht menyatakan keraguan bahwa pengeluaran militer baru dapat menyelesaikan masalah keamanan negara.
“Kami membutuhkan Bundeswehr yang bisa membela negara kami. Jika mereka tidak dapat melakukannya dengan anggaran militer 47 miliar euro saat ini, ke mana uang itu pergi?" tanya Wagenknecht.
"Negara-negara NATO sudah menghabiskan 18 kali lebih banyak untuk persenjataan daripada Rusia. Selain pembuat senjata, siapa yang akan diuntungkan jika (kita segera membelanjakan) 30 kali lipat?” lanjutnya.
Baca juga: Indonesia Desak Rusia dan Ukraina Gencatan Senjata, Prabowo: Segera Mulai Dialog Perdamaian
Menyebut Die Linke telah 'salah' dalam penilaiannya terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, Wagenknecht berpendapat bahwa spesialis keamanan Perang Dingin George Kennan benar untuk memperingatkan terhadap ekspansi NATO.
Serta reaksi yang pasti akan diprovokasi dari Rusia.
“Kami membutuhkan perlucutan senjata dan keamanan bersama. Tidak ada yang berubah tentang fakta bahwa kita tidak dapat berperang melawan tenaga nuklir,” papar Wagenknecht.
“Jerman memiliki kepentingan mendasar dalam hubungan yang stabil dengan Rusia dan juga dalam kerja sama ekonomi dan budaya di masa depan. Selalu masuk akal untuk mencoba memahami motif pihak lain, yang tidak berarti Anda menyetujuinya,” tandasnya.
Jerman pun diketahui ikut-ikutan menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia oleh negara-negara Barat.
Baca juga: Kemhan Inggris Sebut Rusia Berencana Gunakan Senjata Biologis untuk Serang Ukraina
Sanksi ini dijatuhkan atas keputusan Rusia yang mengakui Republik Donbass (Donetsk dan Luhansk) sebagai negara merdeka.
Serta dijatuhkan atas tanggapan operasi militer Moskow di Ukraina.
Para pemimpin Amerika Serikat dan Jerman, serta negara-negara lain telah mengakui bahwa ekonomi mereka sendiri akan terkena pembatasan.
Tetapi sejauh ini, negara barat tersebut masih mempertahankan bahwa harga ekonomi sepadan dengan kepentingan membela 'kebebasan dan demokrasi'.
Baik Eropa dan AS telah dilanda meroketnya harga gas alam hingga minyak, terlepas dari janji Rusia untuk terus mengirimkan pasokan energi kepada pelanggan.
(TribunnewsSultra.com/Nina Yuniar)