Dahlan Dahi Sosok Asal Wakatobi Sulawesi Tenggara di Komisi Digital Dewan Pers, Komaruddin Ketua
Dahlan Dahi sosok asal Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), resmi menjadi Ketua Komisi Digital Dewan Pers.
Penulis: Amelda Devi Indriyani | Editor: Aqsa
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Dahlan Dahi sosok asal Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), resmi menjadi Ketua Komisi Digital Dewan Pers.
Dahlan merupakan jurnalis senior yang saat ini menjabat Chief Executive Officer atau CEO Tribun Network.
Dahlan lahir di Wanci, Kecamatan Wangi-Wangi, Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 4 April 1971 atau saat ini berusia 54 tahun.
Dalam susunan kepengurusan periode 2025-2028 tersebut, Prof Komaruddin Hidayat, ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers.
Tokoh intelektual nasional tersebut akan didampingi oleh Totok Suryanto sebagai wakil ketua.
Sementara, Muhammad Jazuli sebagai Ketua Pengaduan dan Penegakan Etik.
Abdul Manan sebagai Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan.
Baca juga: Putra Wakatobi Sulawesi Tenggara Jadi Anggota Dewan Pers, Sosok Dahlan Dahi CEO Tribun Network
Yogi Hadi Ismanto sebagai Ketua Komisi Pendataan dan Verifikasi.
Rosarita Niken Widiastuti sebagai Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga (Hubla).
M Busyro Muqoddas sebagai Ketua Komisi Pendidikan dan Literasi Pers.
Maha Eka Swasta sebagai Ketua Komisi Komunikasi dan Sosialisasi.
Selain itu, Dahlan Dahi sebagai Ketua Komisi Digital dan Infrastruktur Pers.
Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto secara resmi menetapkan 9 anggota Dewan Pers untuk periode 2025-2028.
Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 16/M Tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pers.
Serah Terima Jabatan (Sertijab) Anggota Dewan Pers yang baru berlangsung di Kantor Dewan Pers, Jakarta, pada Rabu (14/5/2025).
Komaruddin Hidayat mengatakan, maraknya konten digital yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sebagai ancaman serius bagi dunia pers.
Menurut Komaruddin, sebagian besar konten yang beredar di ruang digital saat ini, terutama di platform seperti YouTube, TikTok, dan media sosial lainnya, hanya mengejar sensasi dan monetisasi tanpa memperhatikan kualitas informasi.
“Jadi praktis semuanya itu merupakan mitra pers, tapi sekaligus juga mengancam pers,” kata Komaruddin.
Dia menjelaskan, perkembangan teknologi dan algoritma telah mengubah cara masyarakat mengakses informasi.
AI dan media sosial kini bukan hanya menjadi mitra pers dalam menyebarkan informasi, tetapi juga berpotensi merusak ruang publik dengan informasi yang tidak terverifikasi.
“Banyak juga yang spiritnya itu hanya jual sensasi. Mencari follower, monetisasi, dan kadang-kadang isinya sampah-sampah,” jelasnya.
Baca juga: CEO Tribun Network Dahlan Dahi Sebut Media Jadi Ruang Promosi Tarik Investor ke Sulawesi Tenggara
Oleh karena itu, Komaruddin menyebut bahwa tantangan ini bukan hanya tanggung jawab Dewan Pers.
Tetapi juga harus dihadapi bersama oleh para jurnalis, pendidik, kementerian, dan masyarakat luas.
Komaruddin menyebut era ini sebagai bentuk baru 'kolonialisme digital' yang menyerang pola pikir dan perilaku masyarakat melalui algoritma yang mengatur konsumsi informasi.
“Karena yang diserang itu sekarang adalah pemikiran dan perilaku masyarakat. Terutama oleh yang disebut digital colonialism,” ujarnya.
“Kolonialisme digital, algoritma, itu mengarahkan perilaku kita. Sekarang kita melihat dunia, itu kan tergantung apa kata handphone,” lanjutnya.
Dia pun mengajak semua pihak terlibat aktif dalam mendidik publik dan membersihkan ruang digital dari konten-konten yang hanya sensasional.
“Makanya Dewan Pers dan juga guru-guru, pendidik, juga medsos, itu hendaknya kerja sama; satu, untuk mendidik masyarakat,” katanya.

“Tetapi juga untuk main cleansing untuk membersihkan pikiran-pikiran, sampah-sampah yang mengganggu, komunikasi wacana kita, banyak sekali,” jelas Komaruddin menambahkan.
Sementara, Dahlan Dahi, menyatakan, bahwa industri media massa tengah menghadapi tantangan serius dalam era digital saat ini.
Dahlan mengatakan, dalam rapat koordinasi sebelum Sertijab, dirinya menekankan pentingnya menjaga keberlangsungan media sebagai penjaga informasi dan kontrol sosial dalam masyarakat.
“Jadi kalau media sedang menghadapi masalah, maka salah satu pilar demokrasinya menghadapai masalah,” ujar Dahlan.
Dia menjabarkan dua tantangan utama yang menjadi perhatian mendesak Dewan Pers saat ini.
Pertama, disrupsi di industri media yang mengakibatkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai perusahaan pers.
Kondisi ini, menurut Dahlan, tak hanya berdampak pada para pekerja media, tetapi mengancam fungsi media dalam menjaga demokrasi.
“Nah, bagaimana mencegah ini, tetapi juga bagaimana media itu mempunyai sustainability,” katanya.
“Daya tahan untuk jangka panjang supaya dia tetap menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi,” jelasnya menambahkan.
Tantangan kedua, kata dia, adalah kemajuan teknologi informasi, termasuk internet dan kecerdasan buatan (AI), yang mengubah cara informasi diproses dan disebarluaskan.
Dahlan menjelaskan, perubahan ini turut mempengaruhi pembentukan opini publik dan menuntut Dewan Pers untuk mampu beradaptasi dalam ekosistem digital yang terus berkembang.
“Karena dia (AI) bisa memproses dan mendistribusikan informasi dan bagaimana Dewan Pers memposisikan diri dalam ekosistem yang baru ini,” ujarnya.
“Supaya dia tetap menjalankan fungsinya dengan baik dalam pembentukan opini publik dan menjadi pilar keempat demokrasi,” kata Dahlan menambahkan.(*)
(TribunnewsSultra.com/Amelda Devi Indriani, Tribunnews.com/Fersianus Waku/Malvyandie Haryadi)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.