Mengenal Jejak dan Tujuan Rohingya Pengungsi Terbesar di Dunia, Ditolak di Aceh Viral di Medsos

Berikut ini mengenal jejak Rohingya yang merupakan pengungsi terbesar di dunia. Namun kini keberadaannya ditolak di Aceh sebagai tempat persinggahan.

Kolase TribunnewsSultra.com
Berikut ini mengenal jejak Rohingya yang merupakan pengungsi terbesar di dunia. Namun kini keberadaannya ditolak di Aceh sebagai tempat persinggahan. Bahkan atas hal tersebut, membuat pengungsi Rohingya viral di media sosial. Lantas seperti apa jejak perjalanan pengungsi Rohingya ini dan apa tujuannya ? 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM- Berikut ini mengenal jejak Rohingya yang merupakan pengungsi terbesar di dunia.

Namun kini keberadaannya ditolak di Aceh sebagai tempat persinggahan.

Bahkan atas hal tersebut, membuat pengungsi Rohingya viral di media sosial.

Lantas seperti apa jejak perjalanan pengungsi Rohingya ini dan apa tujuannya ?

Seperti diketahui, pengungsi Rohingya ramai menjadi topic perbincangan.

Keberadaan mereka mulai mengganggu masyarakat Aceh.

Sampai pada akhirnya, saat berlabuh di pantai Aceh, masyarakat pun menolaknya.

Baca juga: Dinas Sosial Konawe Pantau Pengungsi Gempa Bumi di Soropia, Belum Terjunkan Bantuan Sosial

Hal inipun ramai jadi perbincangan di media sosial dan viral.

Sampai beredar video viral di mana para pengungsi Rohingya terbaring lemas.

Pasalnya, selama berhari-hari mereka tidak makan dengan baik.

Bahkan hanya mengandalkan pasokan makanan yang tersisa.

Terlebih di 5 perahu yang terbawa saat itu ke Aceh diisi oleh ratusan pengungsi.

Sebagian dari pengungsi tersebut masih anak-anak.

Namun, sejumlah masyarakat Aceh menolak kedatangan para pengungsi.

Bahkan ada yang membiarkannya untuk berbaring kepanasan di pantai.

Dilansir dari Tribunnews.com, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan, mayoritas pengungsi Rohingya yang hendak mendarat di Aceh adalah anak-anak.

Dari laporan yang dihimpun ujar Usman, ada 5 perahu yang membawa ratusan pengungsi Rohingya di Aceh.

Sebagian pengungsi saat ini telah mendiami tempat penampungan namun sebagian lainnya masih terombang-ambing di lautan dengan kondisi pasokan makanan yang terbatas.

"Pengungsi ini mayoritas anak-anak. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang serius yang harus diperhatikan dan menjadi tanggungjawab pemerinta pusat," kata dia dalam kegiatan virtual bersama wartawan, Selasa (21/11/2023).

Usman memaparkan, perahu pengungsi Rohingya pertama membawa sekira 194 orang. Dengan rincian, 40 laki-laki, 49 perempuan serta 105 anak-anak.

"Totalnya 194 orang, kini berada di penampungan di Mina Raya, Pidie. Mendarat pada tanggal 14 November," ujar dia.

Baca juga: Warga Inggris Dibayar Rp 6,5 Juta per Bulan untuk Tampung Pengungsi Ukraina, Minimal Selama 6 Bulan

Kemudian, perahu kedua mendarat pada 16 November 2023 di Pidie, Aceh, membawa 30 laki-laki, 38 perempuan serta 79 anak-anak.

Total 147 pengungsi. Mereka kini berada di lokasi Mina Raya, Pidie.

Perahu ketiga mendarat di Bireun pada 19 November 2023 dengan jumlah 62 laki-laki, 68 perempuam, serta 125 anak-anak. Total ada 256 orang. Mereka kini di berada di Pantai Ladang Barat.

Perahu keempat pada tanggal 19 November 2023 berada di Pidie dengan jumlah 67 laki-laki, 87 perempuan, dan 78 anak-anak dengan total 232 orang.

Serta perahu kelima, ada di Aceh Timur pada 22 November.

"Tujuh laki-laki, 7 perempuan, dan 22 anak-anak. Saat ini ada di Sport Center Aceh Timur," urai dia.

Pihaknya mendesak, pemerintah Indonesia segera memberikan bantuan kepada hampir 900 pengungsi Rohingnya yang mencoba masuk ke wilayah Indonesia melalui perairan Aceh itu.

"Respons kalangan tertentu yang menolak ratusan pengungsi Rohingya dan meminta pengembalian mereka ke negara asal adalah tindakan yang tidak bertanggungjawab. Itu mencerminkan kemunduran besar keadaban Indonesia," ujarnya.

"Padahal masyarakat sebelumnya menunjukkan kemurahan hati dan rasa peri kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya. Mereka mencari keselamatan hidup setelah berlayar penuh dengan perahu seadanya di laut yang berbahaya," tutur Usman.

Kemenlu Sebut Tak Punya Kewajiban Menampung Pengungsi

Sebelumnya Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI) menyatakan, Indonesia tidak memiliki kewajiban menampung pengungsi berdasarkan Konvensi Pengungsi 1951.

"Yang jelas Indonesia bukan pihak pada Konvensi Pengungsi 1951. Karena itu Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut," kata Lalu Iqbal kepada wartawan, Jumat (17/11/2023).

Pertolongan yang diberikan pemerintah Indonesia yaitu penampungan itu semata-mata karena alasan kemanusiaan.

Penolakan Warga Aceh

Beberapa waktu lalu tepatnya Kamis (16/11/2023) pagi di Pantai Gampong Kuala Pawon, Kecamatan Jangka, Bireuen sudah berkumpul warga.

Warga setempat tak mengizinkan pengungsi Rohingya untuk mendarat di pantai.

Kapal kayu yang panjangnya 50 meter itu tampak terhempas ombak beberapa meter dari bibir pantai.

Ratusan pengungsi yang ada di kapal kayu itu meminta tolong dengan melambaikan tangan.

Namun warga menolaknya dengan gerakan yang menyuruh pengungsi pergi dari pantai.

Keuchik Pulo Pineung Meunasah Dua/Kuala Pawon, Jangka, Mukhtar mengatakan, alasan masyarakat menolak imigran Rohingya adalah karena takut mereka akan menimbulkan banyak masalah.

Namun, ada beberapa warga yang berbaik hati mencoba membantu pengungsi dengan memberikan beras dan mi instan.

Warga menggunakan boat untuk mengantarkan bantuan itu ke kapal kayu pengungsi Rohingya.

Namun pengungsi tidak menerima bantuan itu dan malah membuangnya ke laut.

Bukan sekali dua kali, warga Rohingya mendarat di Aceh bahkan sudah berulang kali .

Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah Rohingya di Myanmar? Dan mengapa mereka "terusir" dari negara tersebut dan kini menjadi pengungsi terbesar di dunia.

Sejarah Rohingya di Myanmar

Melansir Kompas.com, Rohingya mulai bermukim di Myanmar sejak abad ke-7.

Mereka berasal dari India yang berdatangan ke Rakhine, yang dulu dikenal sebagai Arakan.

Rakhine adalah wilayah yang berada di barat Myanmar dan berbatasan dengan Teluk Benggala (Bay of Bengal). Di seberang Rakhine, terdapat Benggala, India.

Rakhine memiliki posisi yang strategis sebagai pusat perdagangan dan pintu gerbang masuk ke Myanmar.

Banyak pedagang dari seluruh dunia yang berkunjung ke Teluk Benggala dan Rakhine.

Di antara mereka, ada pedagang muslim dari Arab.

Dari sinilah etnis Rohingya terbentuk dari keturunan pedagang Arab yang menetap di sana dan muslim dari Benggala.

Masa Kolonial Inggris

Dari tahun 1824–1886, India dan Myanmar (Burma) berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris.

Imigran Benggali dibawa oleh Inggris dari Wilayah Chittaging yang bersebelahan dengan Burma bagian barat untuk menggarap lahan Arakan yang subur.

Kebijakan Inggris ini mempengaruhi kaum Benggali dan Rohignya di Burma.

Muslim Rohingya menjadi mayoritas di beberapa kota besar seperti Rangoon, Akyab, Bassein, dan Moulmein karena kebijakan Inggris.

Namun, etnis mayoritas Burma yang tunduk pada Inggris merasa terganggu dengan imigrasi massal tersebut.

Muslim Rohingya diusir oleh etnis mayoritas Burma dan terpaksa mengungsi ke Burma bagian utara.

Masa kedudukan Jepang

Pada tahun 1942 hingga 1943, Jepang menyerbu Burma dan mengalahkan Inggris.

Daerah yang dikuasai Inggris termasuk daerah Muslim Rohingya jatuh ke tangan Jepang.

Muslim Rohingya mengalami diskriminasi dari Jepang sebagai akibatnya.

Inggris tidak menyerah dan melancarkan serangan gerilya yang disebut V Force untuk merebut kembali Burma dari Jepang.

Muslim Rohingya berperan penting dalam proses kemerdekaan Burma dengan memberontak melawan Jepang.

Masa Kemerdekaan Burma

Konferensi London diadakan pada Oktober 1947 untuk membicarakan kemerdekaan Burma.

Hasil dari konferensi tersebut, Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Burma pada 4 Januari 1948.

Aung San yang terpilih sebagai pemimpin Anti-Fascist People's Freedom League (AFPFL) meninggal dunia karena ditembak oleh lawan politiknya sebelum kemerdekaan Burma.

Wakil presiden AFPFL, U Nu menggantikan Aung San sebagai perdana menteri Burma.

Menurut buku Burma Yang Penuh Pergolakan (2011), pemerintah pusat Burma di Rangoon dan Burma sangat mengatur kepentingan politik dari komunitas Muslim maupun Buddha.

Komunitas Muslim di Burma tidak pernah mendapatkan jaminan status sebagai warga negara bagian.

Padahal, empat kursi dalam parlemen telah diberikan kepada umat Islam di Burma.

Perdana Menteri U Nu mengecewakan Muslim Rohingya di awal kemerdekaan Burma karena warga Muslim tidak dimasukkan dalam kategori kelompok minoritas pada draf konstitusi Burma.

Padahal sesuai AFPFL, semua Muslim Burma diperlakukan sama dengan etnis Burma lainnya.

Namun, kebijakan tersebut tidak memberikan jaminan bagi umat Muslim.

Sejarah Rohingya di Myanmar adalah sejarah yang penuh dengan konflik, diskriminasi, dan penganiayaan.

(*)

(Tribunnews.com)(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved