Berita Wakatobi
Wa Toombuti Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Ulik Kisah Savannah Dari Pulau Tomia
Komunitas perempuan Wakatobi, Wa Toombuti turut mengkampanyekan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan mengulik kisah Savannah dari Tomia.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Desi Triana Aswan
TRIBUNNEWSSULTRA.COM- Komunitas perempuan Wakatobi, Wa Toombuti turut mengkampanyekan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan mengulik kisah Savannah dari pulau Tomia.
Savannah adalah judul buku penulis lokal Tomia, Wakatobi yang gagasannya berangkat dari kisah pulu seorang anak perempuan mengalami kekerasan seksual oleh pedofil.
Kisah pilu Savannah dituangkan dalam sebuah karya sastra dari torehan tulisan Ima Lawaru, yang juga merupakan guru di Pulau Tomia.
Permasalahan kompleks pun terjadi, intrik hingga dramatisnya kisah Savannah tergambar dalam buku 324 halaman itu.
Tim Wa Toombuti, Eka Putri Puisi menyebutkan bahwa kisah Savannah itulah seakan menjadi tali yang berkesinambungan dengan agenda kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Baca juga: Kondisi Terkini Lesti Kejora Dirawat di Rumah Sakit Usai Alami Kekerasan dari Suaminya Rizky Billar
"Karena banyak pembelajaran dari kisah Savannah, permasalahan yang terjadi sebenarnya menjadi isu sensitif di kalangan masyarakat dan nyata adanya. Kita ingin mengetahui, bagaimana Ima Lawaru menjabarkan jurnalisme sastra ini sebagai upaya melihat perjuangan para korban kekerasan seksual untuk bisa melanjutkan kehidupan," jelasnya saat membuka live virtual diskusi di akun Instagram @wa_toombuti, Minggu (27/11/2022)
Selain itu, Eka Putri Puisi juga mengungkapkan masyarakat masih banyak yang awam terkait dengan isu kekerasan seksual ini.
Sehingga banyak terjadi ketimpangan saat menghadapi masalah kekerasan seksual di tengah-tengah masyarakat.
Untungnya, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (12/4/2022), menjadi momentum bagi negara untuk hadir bagi para korban kekerasan.
"Tugas kita adalah memastikan informasi penting tentang perlindungan terhadap korban kekerasan seksual ini bisa sampai ke masyarakat, dan mengawal pengimplementasian UU ini," tuturnya.
Eka Putri Puisi juga menegaskan dengan adanya kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini bisa menjadi langkah awal bagi perempuan Wakatobi untuk mengetahui tentang isu sensitif yang kerap menjadi permasalahan.
"Saatnya kita bergerak untuk bisa menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan," jelasnya.
Diskusi Buku Savannah
Mengulik buku Savannah menjadi bagian awal dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang digelar Wa Toombuti secara live virtual di Instagram.
Baca juga: Kondisi Terkini Lesti Kejora Dirawat di Rumah Sakit Usai Alami Kekerasan dari Suaminya Rizky Billar
Penulis buku, Ima Lawaru menjelaskan diawal bahwa terciptanya sebuah karya berjudul Savannah ini karena merasa pedih mendengar serta melihat korban kekerasan seksual.
Peristiwa naas yang menjadi latar belakang cerita Savannah terjadi pada tahun 2006 dimana segala ruang akses publik terbatas, mulai dari komunikasi ataupun informasi.
Kala itu Tomia begitu gersang, keindahannya masih alami.
Padang savanah luas membentang menjadikan salah satu pulau di Wakatobi itu identik.
Savannah, tokoh sentral dalam buku non fiksi yang dibuatnya namun dilatar belakangi kisah nyata.

Kala itu, Savannah harus memupus mimpi masa kanak-kanaknya karena mengalami insiden pemerkosaan yang dilakukan pedofil.
Tubuh kecil Savannah masih tak mengerti dengan apa yang terjadi padanya. Belum lagi masyarakat yang menghakimi Savannah.
"Karena memang kondisinya masih sangat tabu, menjadikan korban kekerasan sama hinanya dengan pelaku," jelasnya.
Ima Lawaru yang tak mampu membayangkan peristiwa menimpa Savannah menanggung kegelisahan bertahun-tahun.
Sampai akhirnya sekitar 10 tahun berlalu, Ima Lawaru memberanikan diri menulis kisah kelam di Pulau Tomia itu.
Baca juga: BEM Unidayan Baubau dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Tomia-Baubau Donasi Al Quran di Wakatobi
Pada tahun 2017, ia merilis buku tersebut walaupun 80 persen diakuinya berdasarkan imajinasi.
Meski demikian, Ima Lawaru menanamkan jiwa Savannah pada tubuhnya untuk merasakan pedih dan sakitnya menjadi korban kekerasan seksual.
Emosi yang terjadi diluapkannya dalam ribuan kalimat di buku Savannah.
"Karena saya berpikir untuk bertanya langsung pada korban saya tidak berani. Jadi saya mencoba mengambil pondasi dari awal kisah kelam Savannah dan saya mencoba untuk merasakan rasa sakitnya menjadi korban," tuturnya.
Diakui Ima Lawaru meski jurnalisme sastra yang dibuatnya tak begitu mendetail dan minim data, namun hal yang ingin disampaikannya melalui karya untuk mendorong kekuatan korban bisa mendapatkan keadilan.
"Karena keadilan yang benar-benar adil untuk korban sulit sekali didapati, bahkan saya tidak bisa menggambarkan keadilan macam apa yang harus diterima Savannah agar segala yang terjadi setimpal, " tuturnya.
Bertahun-tahun berlalu, Ima Lawaru berharap agar karyanya bisa menjadi pembelajaran penting bagi setiap pembacanya.
"Poin yang ingin saya sampaikan, kita sama-sama mengedukasi segala hal sensitif ini sebagai langkah awal membentengi diri. Perempuan bisa menghargai dirinya untuk tidak dilukai, laki-laki pun belajar untuk bisa menghormati perempuan. Tumbuh jadi manusia yang dibentengi oleh etika dan ilmu," pungkasnya. (*)
(TribunnewsSultra.com/Desi Triana)