Dampak Kebijakan Jokowi yang Larang Ekspor Minyak Goreng dan CPO terhadap Petani Sawit

Kebijakan Presiden Joko Widodo perihal larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya (CPO) ke luar negeri dinilai dapat membuat harga sawit turun.

Penulis: Nina Yuniar | Editor: Ifa Nabila
Muh Ridwan Kadir/TribunnewsSultra.com
Ilustrasi minyak goreng 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya (CPO) ke luar negeri dinilai dapat membuat harga sawit turun.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, larangan ekspor minyak goreng dan CPO berdampak di dalam negeri, baik dari segi pasokan maupun harga.

“Tentu saja akan terjadi banjir produksi CPO di dalam negeri. Pada tahun 2021, total produksi CPO Indonesia diperkirakan mencapai 46,89 juta ton, sementara konsumsi nasional untuk agrofuel dan pangan diperkirakan 16,29 juta ton." sebut Henry dalam siaran resminya, Senin (25/4/2022) seperti dilansir TribunnewsSultra.com dari Kompas.com.

"Artinya terdapat 30 juta-an ton yang selama ini dialokasikan untuk diekspor,” sambungnya.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Terbaru Selasa di Alfamart Indomaret: Sania, Filma, Fortune, Sovia, Tropical

Menurut Henry, kebijakan ini juga berdampak kepada petani sawit anggota SPI.

"Hari ini hasil laporan petani anggota SPI di berbagai daerah seperti Riau, Sumatera Utara, harga tandan buah segar (TBS) sawit seharga Rp 1.700 - Rp 2.000 per kilogram, sudah terkoreksi ada yang 30 persen, bahkan sampai 50 persen," ujar Henry.

“Perkebunan sawit harus diurus oleh rakyat, didukung oleh pemerintah dan BUMN, bukan oleh korporasi,” jelasnya.

Henry mengatakan bahwa kini korporasilah yang menguasai perkebunan sawit di Indonesia.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Hari Ini Alfamart Indomaret: Sania, Amanda, Fortune, Sovia, Tropical, Filma

“Perkebunan sawit korporasi telah mengubah hutan menjadi tanaman monokultur, menghilangkan kekayaan hutan kita, juga sumber air berupa rawa-rawa, sungai dan sumber-sumber air lainnya. Korporasi sawit juga terbukti telah menggusur tanah petani, masyarakat adat dan rakyat, sampai merusak infrastruktur di daerah,” terang Henry.

“Sudah benar kebijakan moratorium sawit yang melarang perluasan izin perkebunan sejak tahun 2017-2019, dimana ditemukan ada 1,7 juta hektar lebih perusahaan sawit yang melampaui HGU yang mereka miliki dan 3 juta hektar sawit di dalam kawasan hutan,” lanjutnya.

Henry juga menyinggung kesejahteraan buruh-buruh korporasi sawit yang ditelantarkan.
Dia mengatakan, kehadiran korporasi sawit sering mengabaikan izin-izin yang ada, ilegal, dan terjadi kasus pelanggaran kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada negara.

Henry menuturkan bahwa perkebunan sawit harus di diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Hari Minggu di Alfamart Indomaret setelah Ekspor Dilarang: Sania, Sovia, Bimoli

“Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektar dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA),” kata Henry.

“Korporasi swasta bisa diikutkan di urusan pengolahan industri lanjutan, misalnya untuk pabrik sabun, kosmetik, obatan-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya,” imbuhnya.

Lebih lanjut Henry menyebutkan hasil pajak ekspor dan pengutipan hasil perdagangan internasional dapat digunakan untuk proses transisi pengelolaan sawit dari korporasi ke petani dan negara.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved