Berita Baubau

Mengenal Santiago Tradisi Ziarah Makam Sultan di Kesultanan Buton Baubau Sulawesi Tenggara

Mengenal Santiago prosesi ziarah makam para Sultan yang telah mangkat (meninggal) di Kesultanan Buton, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra).

|
(TribunnewsSultra.com/Harni Sumatan)
PROSESI SANTIAGO - Proses Penyiraman saat tradisi adat Santiago di makam Sultan Himayatudin Muhammad Saidi Benteng Keraton Buton, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra), Selasa (21/10/2025). Prosesi ini dahulu digelar pada malam hingga subuh hari, lalu dari pagi hingga sore hari. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, BAUBAU - Mengenal Santiago prosesi ziarah makam para Sultan yang telah mangkat (meninggal) di Kesultanan Buton, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Santiago adalah prosesi ziarah makam yang dahulu digelar pada malam hingga subuh hari, lalu dari pagi hingga sore hari.

Prosesi ini dimeriahkan para perangkat masjid, dimulai dengan tari galangi sebagai tanda perjalanan ziarah dimulai.

Dalam iring-iringan Santiago, terlihat kelompok penari galangi berada paling depan. 

Dua anak laki-laki pembawa tikar, empat laki-laki dewasa pembawa tandu berisi bara api disebut Mowiwi, serta 1 pria pembawa dupa. 

Kemudian seorang wanita berpakaian adat membawa air disebut Salawatu.

Lalu terdapat lelaki yang memayunginya yang disebut Kinapau.

Baca juga: Haroana Maludhu, Tradisi Warga Buton di Baubau Sulawesi Tenggara Peringati Maulid Nabi Muhammad

Rombongan Santiago dari Kamali Kara, istana Sultan di Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum, menuju Masjid Keraton Buton terlebih dahulu, yang berjarak sekira 300 meter.

Untuk menjemput syarana hukumu (sebutan untuk perangkat masjid keraton) dengan iringan gendang.

Setelahnya baru ziarah dimulai. Ziarah pertama dilakukan ke makam Sultan Murhum.

Iringan gendang terdengar selama perjalanan menuju makam, para penari tidak ikut ke dalam makam.

Terlihat yang berada dalam makam untuk ziarah terdiri dari syarana hukumu, pimpinan daerah dan salawatu.

Budayawan Buton, Imran Kudus mengatakan alasan air siraman dipayungi ialah sebagai bentuk penghargaan.

“Itu sebagai simbol penghormatan Sultan yang telah mangkat, Sultan itu kan dipayungi (saat masih hidup), karena sudah mangkat maka saat penyiramannya dipayungi,” ungkapnya kepada TribunnewsSultra.com, Selasa (21/10/2025).

Baca juga: Daftar 37 Warisan Budaya Takbenda Milik Sulawesi Tenggara, Ada Tradisi Lisan hingga Tarian

Kata dia, para pejabat dapat mengubah waktu prosesi ini agar bisa terlibat.

“Upaya menahan Santiago supaya dapat berpartisipasi,” jelasnya.

Saat ini, prosesi Santiago dilakukan dengan mengunjungi beberapa makam yakni makam Sultan Murhum, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, Sultan Dayanu Iksanuddin.

Kemudian Sultan Syamsuddin, Sultan Mulharuddin Abd Rasyid, Sultan Adilil Rahim dan Sultan Malik Sirulllah.

Jarak yang ditempuh peziarah tidak begitu jauh, sehingga dapat dijangkau dengan berjalan kaki.

Dahulu ketika melewati perkampungan, rombongan Sultan dan perangkatnya akan mendapat sajian makanan depan rumah penduduk. 

Pemilik rumah akan mengadang rombongan dengan alunan syair kabanti dengan tujuan agar rombongan tersebut mampir mencicipi hidangan.

“Setelah mengunjungi semua, nanti akan kembali ke Kamali Kara untuk Haroa,” tambahnya.

Haroa di Kamali Kara, istana 4 lantai dari kayu dilakukan sebagai tanda usainya prosesi Santiago.(*)

(TribunnewsSultra.com/Harni Sumatan)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved