TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Apa itu tradisi Pasali hingga Pikoelaliwu yang dikait-kaitkan aksi sawer uang Gubernur Sultra Ali Mazi cs.
Dalam video viral di media sosial (medsos), sejumlah pejabat di Sulawesi Tenggara (Sultra) pun melakukan aksi serupa.
Aksi hambur uang itu juga dilakukan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Sultra Abdurrahman Saleh dan Bupati Buton Utara (Butur) Ridwan Zakaria.
Tindakan itu berlangsung saat Ramah Tamah Hari Ulang Tahun atau HUT ke-15 Butur di pelataran Rumah Jabatan (Rujab) Bupati, Kelurahan Lipu, Kecamatan Kulisusu, pada Jumat (01/07/2022) lalu.
Sontak beredarnya video viral aksi lempar uang dari atas panggung yang dilakukan sejumlah pejabat Sultra itupun menuai polemik, baik itu yang pro maupun kontra.
Baca juga: Kadis Kominfo Sultra Minta Maaf Sebut Tradisi Pasali Atas Aksi Sawer Gubernur cs, Kini Pikoelaliwu
Atas polemik itu, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika atau Kadis Kominfo Sultra Ridwan Badallah pun memberikan tanggapan melalui keterangan tertulisnya pada Minggu (03/07/2022).
Ridwan menyebut aksi sawer uang Gubernur Sultra cs merupakan bagian dari tradisi masyarakat Indonesia.
Termasuk di kawasan Indonesia timur khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Diapun mengibaratkan saweran tersebut laiknya tradisi Pasali yang merupakan salah satu prosesi adat masyarakat Buton.
Tanggapan itupun menuai ‘kegaduhan’ baru.
Berbagai kalangan mengkritik pernyataan yang menyamakan tradisi Pasali dengan aksi sawer uang Gubernur Sultra cs.
Terbaru, Ridwan kembali melansir pernyataan terkait hal itu.
Dia meminta maaf terkait penyebutan tradisi Pasali atas aksi lempar uang yang dilakukan Gubernur Ali Mazi, Ketua DPRD Abdurrahman Saleh, serta Bupati Butur Ridwan Zakaria itu.
Dalam pernyataan terbarunya, Kadis Kominfo Sultra menyebut aksi sawer uang itu bukan tradisi Pasali seperti disebutkan sebelumnya.
Melainkan tradisi Pikoelaliwu yang biasa dilakukan pada pesta adat masyarakat Buton.
Tradisi tersebut dimulai dengan tradisi Picundupia dilanjutkan ganda-ganda dan lelo uang sebagai ungkapan rasa syukur.
Lelo uang itulah yang disebutnya dapat diartikan dengan melempar uang pada pesta rakyat tersebut.
Lantas apa itu tradisi Pikoelaliwu hingga tradisi Pasali yang dikait-kaitkan polemik aksi sawer uang Gubernur Sultra cs itu.
Begitupun makna sejumlah istilah dalam pesta adat masyarakat Buton lainnya seperti tradisi Picundupia, ganda-ganda, dan lelo uang yang juga disebutkan dalam pernyataan itu?
Simak selengkapnya pengertuan berbagai istilah prosesi adat tersebut dihimpun TribunnewsSultra.com dari berbagai sumber.
Baca juga: Viral Gubernur Sultra Ali Mazi, Ketua DPRD Abdurrahman Saleh Bupati Buton Utara Lempar Uang di Butur
Tentang Tradisi Pasali
Dikutip TribunnewsSultra.com dari buku berjudul Adat dan Upacara Perkawinan Wolio karya Abdul Mulku Zahari, tradisi Pasali adalah suatu pembayaran karena adat yang tertentu banyaknya.
Dalam buku yang dilansir repositori.kemdikbud.go.id itu disebutkan pembayaran diberikan kepada orang-orang yang menghadiri upacara adat atas undangan berupa uang yang diawali karena sebab peristiwa pesta Sultan La Jampi yang jatuh pada bulan puasa.
Demi kehormatan bagi yang melaksanakan puasa, maka orang-orang yang datang dalam pesta tersebut tidak lagi dihidangkan makanan.
Tetapi sebagai penggantinya diberikan sejumlah uang yang selanjutnya dalam masa Alimuddin sebagai Sultan Buton yang ke-25 menggantikan La Jampi menetapkannya sebagai suatu ketentuan yang wajib berlaku secara umum dalam kerajaan Buton.
Ketua Law Study Club Sultra Muh Arlin Syahputra mengutip jurnal Eksplorasi Etnomatematika Pasali Masyarakat Buton juga menyebut tradisi Pasali merupakan ucapan terimakasih kepada tokoh adat karena telah memanjatkan doa kepada yang maha kuasa.
Tradisi pasali juga sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada kerabat yang telah meluangkan waktunya untuk hadir bersama-sama menyaksikan acara hajatan.
Dengan demikian, kata Arlin, tak elok menyamakan tradisi Pasali dengan aksi hambur uang Gubernur Sultra Ali Mazi, Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Saleh, maupun Bupati Butur Ridwan Zakaria.
“Berbanding terbalik dengan penampakan tindakan Gubernur Sultra, Ketua DPRD Sultra, dan Bupati Butur yang bernyanyi pegang mic sembari buang-buang uang,” jelas Arlin.
“Konteksnya berbeda dengan yang dimaksud dengan tradisi Pasali,” ujar mantan Presiden Mahasiswa Universitas Halu Oleo atau Presma UHO Kendari tersebut.
Tentang Tradisi Pikoelaliwu
Dikutip TribunnewsSultra.com dari Jurnal Kelisanan Sastra dan Budaya yang dipublikasikan melalui journal.fib.uho.ac.id disebutkan tradisi pikoelaliwu atau biasa dikenal dengan pesta kampung adalah tradisi yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Namun, hingga kini masih terus terpelihara dan dilakukan dengan rutin secara turun temurun.
Tradisi Pikoelaliwu pada Masyarakat Pasar Wajo, Kecamatan Pasar Wajo, Kabupaten Buton, itu hasil penelitian Nining Salmaniar Alisaid, Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, UHO Kendari.
Disebutkan subtansinya agar bagaimana seluruh tokoh adat, sara, serta masyarakat, mendoakan daerah ini dalam keadaan baik, aman, dan terkendali.
Selain itu, masyarakat yang bermata pencaharian nelayan dan petani diberikan rezeki yang melimpah.
Dalam jurnal tersebut disebutkan, tradisi Pikoelaliwu adalah prosesi pesta adat yang dilaksanakan setiap tahun.
Sebagai ungkapan rasa syukur atas kehadiran Allah SWT atas nikmat karunia yang dilimpahkan kepada kadie dan memohon kepadanya agar keimanan, kekuatan, dan kesehatan lahir batin tetap terpelihara.
Selain itu, selalu diberi keselamatan dan dijauhi dari marabahaya serta bencana yang berasal dari dalam maupun luar kadie.
Pelaksaan pesta adat ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban secara bergantian dan bergilir setiap tahun.
Baca juga: Kadis Kominfo Sultra Sebut Gubernur Ali Mazi Hambur Uang Sebagai Tradisi, Sosiolog: Kadisnya Ngawur
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disebutkan proses pelaksanaan tradisi Pikoelaliwu tersebut terdiri dari 2 tahap yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
Tradisi pikoelaliwu tersebut diawali dengan tahap persiapan cilikia dan diakhiri dengan tahap pelaksaan ponare.
Makna yang terkandung dalam tradisi Pikoelaliwu yaitu tahap cilikia berarti penentuan hari baik menurut perhitungan orang tua.
Picundupia berarti pelantikan anak, dan pihatoa yang memiliki makna penyisipan atap baruga.
Selain itu, batano ganda yang berarti pemiringan gendang, mateno bembe yang memiliki makna sebagai salah satu alat pengganti akikah yang diambil alih oleh syara adat dan hukumu.
Weano boba yang berarti bahwa masyarakat Pasar Wajo memperlihatkan para generasi penerus.
Rondhono ta’dea yang berarti manifestasi dari keseimbangan manusia dalam berinteraksi dengan alam sekitar.
Selain itu, Ponare memiliki makna bahwa di dalam kehidupan itu masyarakat harus berjuang, bekerja keras dan tantangan dalam menghadapi sebuah tantangan dalam tahun yang akan datang.
Tak disebutkan secara rinci prosesi bagi-bagi uang dalam rangkaian tradisi adat berdasarkan hasil penelitian tersebut.
Sedangkan, Kadis Kominfo Sultra Ridwan Badallah dalam pernyataan tertulisnya menyebut tradisi Pikoelaliwu biasa dilakukan pada pesta adat masyarakat Buton.
Dimulai dengan tradisi Picundupia dilanjutkan ganda-ganda dan lelo uang sebagai ungkapan rasa syukur.
Lelo uang itulah, kata Ridwan, yang dapat diartikan dengan melempar uang pada pesta rakyat tersebut.
“Lelo uang ini diartikan dengan melempar uang pada pesta rakyat,” katanya.
Jadi inti dari aksi Gubernur Sultra, Ketua DPRD Sultra, Bupati Butur, dan sejumlah pejabat itu sawer uang dalam HUT Butur, kata Ridwan, laiknya tradisi dalam pesta adat Pikeolaliwu tersebut.(*)
(TribunnewsSultra.com/Sitti Nurmalasari)