TRIBUNNEWSSULTRA.COM,KENDARI – Proses vaksinasi Covid-19 kepada pekerja publik di Indonesia memasuki tahap dua.
Pemerintah Indonesi mengalakan vaksin, rencananya 38.513.446 jiwa diharapkan selesai divaksin pada Mei 2021.
Meski demikian, soal vaksinasi Covid-19 ini, banyak dari masyarakat mungkin sudah sering mendengar imbauan, setelah disuntik vaksin tetap wajib menerapkan protokol kesehatan (prokes).
Arahan ini bertujuan untuk mencapai target memutuskan rantai kasus infeksi Covid-19, setidaknya mengendalikan kasus infeksi.
Baca juga: Lansia Sehat Mau Divaksin, Berikut 5 Penyakit yang Sering Diidap Kelompok Usia Ini
Baca juga: Sekolah Tatap Muka Dimulai Juli, Ini Target Presiden Jokowi
Baca juga: Presiden Jokowi Teken Perpres Baru, Warga yang Tolak Vaksinasi Covid-19 Bisa Dapat Sanksi
Baca juga: Presiden Jokowi Targetkan Vaksinasi Covid-19 untuk Guru Rampung Juni 2021
Juru Bicara Satgas Covid-19 RS Universitas Sebelas Maret (UNS) dr Tonang Dwi Ardyanto, SpPK, Phd mengatakan, vaksinasi Covid-19 tidak menjamin 100 persen partisipannya bebas dari inveksi Covid-19.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sendiri telah mengungkapkan hasil analisis interim uji klinis terhadap vaksin Sinovac di Bandung, efikasi vaksin Sinovac cuma sebesar 65,3 persen.
Meski demikian, angka efikasi vaksin ini telah memenuhi persyaratan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni di atas 50 persen.
Apa itu efikasi 65,3 persen?
Tonang menjelaskan, yang dimaksud efikasi vaksin hanya 65,3 persen bukan berarti kalau ada 100 orang divaksin maka yang 35 orang di antaranya bisa tetap terkena Covid-19.
“Efikasi itu risiko relatif, rasio risiko atau perbandingan risiko, antara yang divaksin dan yang tidak divaksin,” uarnya ketika dimintai penjelasan, Kamis (25/2/2021).
Dia menerangkan, angka efikasi 65,3 persen berarti orang yang tidak divaksin memiliki risiko 3 kali lipat daripada yang tervaksin.
Dia menegaskan, vaksinasi Covid-19 tetap bermanfaat.
Apa itu itu risiko 3 kali lipat?
Tonang mengatakan, jika divaksin maka seseorang ibaratnya menjadi punya 3 perisai.
Sedangkan kalau tidak divaksin, hanya punya 1 perisai.
“Untuk apa (perisai)? Untuk mencegah kena Covid-19 bergejala. Yang divaksin, masih aman kalau baru tembus 2 perisai. Kalau yang tidak divaksin, langsung kena begitu tembus 1 perisai. Jadi lebih mudah ditembus yang tidak divaksin,” ujar dia.
Tonang menjabarkan, tingkatan terbaik dari pemberian vaksin Covid-19, ketika mampu mencegah terjadinya infeksi.
Namun, target uji klinik vaksin saat ini baru pada tingkat mencegah timbulnya gejala kalaupun terpaksa terkena infeksi virus corona.
Dengan demikian, dia menerangkan, dari 100 orang yang divaksin, bisa saja lebih dari 95 orang tetap bebas dari Covid-19.
Jikapun tertular virus, tidak timbul gejala asal semua orang tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Sebaliknya, kalau tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan bisa saja lebih dari 35 orang yang sudah divaksin itu terkena Covid-19 dan bergejala.
“Jadi ada syaratnya, apa? Ya itu tadi, penerapan protokol kesehatan tetap harus disiplin. Setelah divaksin, tetap disiplin,” kata dia.
Lantas, sampai kapan rutinitas penerapan prokes Covid-19 dilakukan?
Menurut Tonang, sampai terbukti pandemi Covid-19 sudah terkendali. Saat itulah secara bertahap prokes bisa dilonggarkan.
Bagaimana gambarannya?
Menurut dia, cuci tangan bisa jalan terus, pakai masker hanya saat bergejala, dan jaga jarak hanya bila bertemu dengan orang asing.
Meski demikian, Tonang menegaskan, belum jelas kapan pelonggaran prokes diterapkan. (*)
(ARTIKEL INI TELAH TAYANG DI KOMPAS.COM BERJUDUL "Sampai Kapan Tetap Harus Disiplin Protokol Kesehatan meski Sudah Divaksin?")