Isi Hati Gigoro Masyarakat Adat O Hangana Manyawa Dalam Bayang Tambang Nikel di Halmahera Timur
Tim liputan menelusuri jauh hingga ke timur Halmahera mendengar kisah-kisah masyarakat adat O Hangana Manyawa yang berjuang mencari hidup di hutan.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Sitti Nurmalasari
Tim liputan menelusuri jauh hingga ke timur Halmahera mendengar kisah-kisah masyarakat adat O Hangana Manyawa yang berjuang mencari hidup di hutan.
TRIBUNNEWSSULTRA.COM- Menyorot tajam tatapan Gigoro masuk ke dalam kenangan kelam tentang nasib masyarakat Tobelo Dalam di hutan Ake Jira, Halmahera Timur. Suaranya bergetar saat kembali mengingat bagaimana jejak leluhur menjaga hutan. Tidak serakah dan tak suka mengusik milik orang lain, menjadi marwah masyarakat O Hangana Manyawa.
Namun diakuinya rasa takut itu semakin besar karena ancaman eksploitasi lahan garapan pertambangan terus meluas di hutan Ake Jira yang terletak di wilayah dua kabupaten, yaitu Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Kali ini, tim liputan melakukan perjalanan hingga ke pedalaman Timur Halmahera tepatnya singgah di Desa Saolat bertemu Gigoro. Kami, ingin melihat langsung dampak aktivitas pertambangan terhadap kekayaan alam Halmahera. Dampaknya tidak hanya terasa dalam bidang sosial ekonomi dan kerusakan lingkungan, melainkan juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat di hutan Ake Jira.
Ake Jira di Halmahera Timur menjadi area pengerukan nikel yang menghasilkan bahan mentah lalu dibawa ke pusat pengolahan. Bagi Gigoro, Ake Jira adalah rumah tempat pulang dan itu hal mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.
Diusia renta 62 tahun, Gigoro masih memikirkan nasib para tetuah adat hingga generasi O Hangana Manyawa yang masih bertahan di hutan di tengah ancaman pengerukan nikel yang terus menerus.
Gigoro bergetar, matanya memerah hingga sedikit berair. Ia mengungkapkan sulitnya mencari bahan makanan saat ini di hutan, beda seperti dulu. Dengan kondisi ini, kehidupan masyarakat adat O Hongana Manyawa semakin terjepit. Perubahan ekosistem dan pembatasan ruang hidup mereka memberikan tekanan serius terhadap keberlanjutan cara hidup tradisional mereka.
Pada dasarnya, kehidupan di hutan tidak pernah sekompleks kehidupan di pemukiman warga atau perkotaan. Masyarakat adat hanya fokus pada kebutuhan makan sehari-hari dengan memanfaatkan hasil buruan atau tanaman yang tersedia. Siklus kehidupan di hutan belantara tidak terpengaruh oleh modernisasi.
Baca juga: Menelisik Nestapa Warga Halmahera Tengah dari Aktivitas Tambang Nikel hingga Sagea Benteng Terakhir
"Kehidupan di hutan itu, pekerjaan tidak ada yang lain. Cuman hidup cari makan. Macam mencari mo yang lain itu tidak ada," katanya kepada tim liputan saat disambangi pada 5 November 2023.
Selain itu, masyarakat di Ake Jira hidup berpindah-pindah untuk mencari buruan. Tidak menetap pada satu titik saja. Namun tak akan saling mengusik ataupun menyerobot lahan sesama. Karena jika berani mengambil lahan, taruhannya adalah nyawa.
"Jadi semua saling menghargai wilayah masing-masing," tuturnya.
Itulah sebabnya, saat alat berat mulai mengeruk lahan hutan, membuat masyarakat adat khawatir dan merasa terancam atas kehidupan mereka. Trauma kala masa penjajahan pun mulai bangkit. Rasa percaya terhadap orang asing sangatlah menipis. Karena hakikatnya, O Hangana Manyawa hidup damai dengan cara mereka sendiri. Namun ketika terusik, maka membuat jiwa mereka ketakutan hingga akhirnya melawan dengan cara mereka pula.
"Sebenarnya, saat rumah kami tidak diusik tentu kami tak pernah akan mengganggu hak milik orang pula. Karena kami tidak suka membuat keributan," jelasnya.
Jejak sejarah leluhur yang terdapat di hutan Ake Jira harus dijaga dengan baik. Inilah alasan kuat mengapa Gigoro, yang merupakan keturunan keempat dari Suku Tobelo Dalam atau O Hongana Manyawa, bersikeras untuk melakukan perlawanan. Selain itu, pemahaman yang dimilikinya mengenai ancaman terhadap lingkungan tempat ia dibesarkan, termasuk rumah masa kecilnya, semakin memotivasi Gigoro untuk bertindak.
Sosok paruh baya ini meninggalkan hutan Ake Jira sejak usia 14 tahun. Kepergiannya dipicu oleh kematian sang ayah, Duladi, yang diracun dalam konflik pesisir pada tahun 1958. Kehilangan ayah dalam situasi yang sulit membuatnya terpaksa meninggalkan hutan. Bagi masyarakat adat O Hongana Manyawa, ayah bukan hanya tulang punggung, tetapi juga pelindung dan penyelamat yang turun temurun. Setelah kepergian ayah, Gigoro bersama dua saudaranya dan ibunya, beralih ke pemukiman warga di pesisir, khususnya masyarakat Tobelo Luar.
Gigoro berusaha beradaptasi dengan kehidupan masyarakat setempat, meskipun sulit karena terbiasa hidup di hutan yang merupakan rumahnya. Kenangan akan tempat kelahirannya di Hutan Ake Jira tidak pernah terhapus. Meski hidup di pemukiman warga, Gigoro terus mencari nafkah dengan menjual hasil tangkapan dan berkebun, keahliannya menanam dari masa hidupnya di hutan tetap terjaga.
Hidup terus berjalan, dan dengan kesulitan, Gigoro tumbuh menjadi bagian dari masyarakat pesisir. Ia menikah dengan wanita dari Desa Buli Maba, Halmahera Timur, dan memiliki tiga anak yang berhasil menempuh pendidikan tinggi. Meskipun puluhan tahun berada di pemukiman warga, Gigoro tetap mempertahankan identitas kelahirannya di Ake Jira, bahkan menolak pembuatan KTP jika tempat kelahirannya tidak dicantumkan.
Sesekali, Gigoro menyambangi sanak saudaranya yang masih tinggal di hutan belantara, tetapi ia tidak pernah membawa keluarganya karena menyadari bahwa rumah sejatinya bagi O Hongana Manyawa adalah Ake Jira.
Namun, perasaan campur aduk dan kebimbangan menghampiri Ngigoro. Keluarganya di hutan semakin terancam karena lahan yang mereka tempati digusur tanpa izin. Meskipun ada tanda-tanda kehidupan masyarakat adat, tampaknya perusahaan tambang tidak memiliki rasa empati.
Lebih lanjut, kata Gigoro, masyarakat O Hongana Manyawa tidak memahami pekerjaan yang sedang dilakukan oleh perusahaan tambang di hutan Ake Jira saat ini.
"Mereka tidak memahami bahwa kita, masyarakat luar, memiliki cara hidup kita sendiri. Mereka tidak memikirkan tentang keberlanjutan hidup. Mereka hanya berusaha bertahan hidup dengan mencari makan," katanya.
Oleh karena itu, Gigoro, yang sudah lama tinggal di pemukiman warga dan memahami ancaman terhadap hutan Ake Jira sebagai rumah bagi O Hongana Manyawa, bergerak untuk melakukan perlawanan. Ia melawan untuk melindungi warisan leluhur dan kehidupan masyarakat O Hongana Manyawa agar tidak musnah. Gigoro mengungkapkan kerinduannya pada hutan Ake Jira, tempat di mana ia dilahirkan dan tumbuh menjadi remaja.
"Saya sangat merindukan wilayah ini. Karena wilayah ini adalah wilayah leluhur, di sini terdapat makam. Saya tidak ingin melihatnya tergusur. Jika itu terjadi, saya tidak akan bisa melihatnya lagi," ujarnya dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar.
Mereka Pemilik Sah Hutan Halmahera

Direktur WALHI Maluku Utara Faisal Ratuela menyampaikan, dalam konteks masyarakat adat, terdapat kesalahan yang perlu diperbaiki. Saat ini, para peneliti sedang melakukan reset untuk memahami apa yang diinginkan oleh masyarakat adat dari investasi. Mereka berusaha membangun pemahaman bahwa yang dibangun adalah rumah bagi mereka.
“Tidak ada pembangunan rumah bagi mereka (masyarakat adat), meskipun fisik rumah dibangun di dalam hutan. Hutan adalah rumah bagi mereka,” ujarnya.
Menurutnya, ketika mendekati perspektif yang kita miliki, penting untuk bertanya apakah kita adil jika tidak memasukkan perspektif yang ada dalam pemikiran mereka. Sebenarnya, mereka adalah pemilik sah dan penjaga hutan di Halmahera.
Masyarakat tidak melarang siapapun yang mencari makan di kampung mereka, tetapi mereka berharap tidak diusir dari tanah mereka. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat menetapkan hukum menurut perspektif mereka sendiri, karena mereka kehilangan kepercayaan kepada negara.
“Apa yang terjadi saat ini perlu dievaluasi. Apakah proyek strategis nasional di Halmahera berhasil memberikan keadilan ekonomi yang merata atau tidak,” katanya.

Menurutnya, di sekitar tambang, kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus terjadi karena pemerintah mengabaikan pengakuan ruang hidup masyarakat adat untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 tahun 2012 tentang hutan adat.
“Pengakuan terhadap hutan adat di Halmahera hingga saat ini masih terlunta-lunta,” kata Faisal.
Proses pengakuan hak masyarakat yang sudah dikuasai selama 20-30 tahun harus segera dilakukan.
WALHI mendorong untuk menggugat Kementerian Kehutanan atas pengabaian hak warga, terutama dalam meletakkan proses pengakuan wilayah hutan yang sudah dikuasai masyarakat selama dua atau tiga dekade. Pemerintah masih memandang bahwa kawasan hutan yang dikuasai masyarakat saat ini masih termasuk dalam kawasan hutan, padahal kenyataannya, masyarakat sudah lama berkebun di dalam hutan.
Halmahera Tengah dan Timur diperkirakan menjadi wilayah produktif sumber daya alam dengan banyak IUP. Tak dipungkiri, anggota DPRD Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda jika hal tersebut menjadi ladang permainan para oknum untuk mendapatkan uang lebih. Tak hanya kepentingan perusahaan yang ingin menguasai lahan masyarakat adat.
Namun berbagai hal yang dalam prosesnya bisa dimanfaatkan oknum-oknum nakal. Padahal menurut Munadi Kilkoda, seharusnya pemerintah bisa mendorong adanya Peraturan Daerah atau Perda yang mampu mengawal segala hak-hak masyarakat adat sebagai warga asli di Halmahera Tengah dan Timur.
Walaupun sejak awal menduduki jabatannya sebagai anggota DPRD Halmahera Tengah turut terlibat dalam menyusun visi dan misi pemerintahan daerah mengenai perlindungan hak-hak yang dimiliki masyarakat adat. Namun perjuangan tersebut tak membuahkan hasil dan mengambang pada proses eksekusi.
Munadi Kilkoda konsisten dengan tujuannya menyatakan sikap untuk perlindungan hak masyarakat adat. Dalam perjalanannya, ia menemui kendala dan tantangan yang begitu masif terjadi. Bahkan berimbas kepada pekerjaannya sebagai seorang anggota dewan.
Ditemui tim liputan pada 4 November 2023, Munadi Kilkoda membongkar dugaan praktik 'jahat' yang ada di lingkaran ruang legislatif Halmahera Tengah.

"Halteng ini termasuk daerah IUP nya begitu banyak. Banyak pihak yang berkepentingan untuk menguasai lahan masyarakat adat. Ketika kita berbicara Perda yang berkepentingan terhadap masyarakat, itu pasti akan selalu ada gesekan yang kuat," bebernya.
Ketua AMAN dua periode ini menyebut, selama ini terjadi pertarungan sengit di wilayah industri Halmahera Tengah. Bak menjadi rahasia umum, gesekan tersebut menjadi kendala lahirnya Perda yang mendorong lahirnya Perda perlindungan hak masyarakat adat termasuk ruang hidup. Terlebih, posisi pemerintah setempat yang secara terang-terangan memudahkan akses investor untuk menggarap lahan produktif di Halmahera Tengah.
Misalnya saja, perluasan kawasan konsesi pertambangan PT IWIP. Di mana yang awalnya 500 hektar menjadi 15 ribu hektar. Bahkan wacana ditambah 7 ribu hektar sehingga total wilayah konsesi mencapai 22 ribu hektar.
Angka fantastis ini nampaknya menjadi ancaman besar untuk tiga hingga empat kecamatan di Weda. Mulai dari Weda Tengah, Utara, Timur hingga mengancam Patani Barat.
"15.000 hektar saja ini kecamatan sudah habis menjadi kawasan industri, Weda Tengah, Utara, Timur dan kalau ditambah 7 ribu lagi, berarti Patani Barat juga habis. Jadi wilayah-wilayah produktif itu masuk dalam kawasan industri. Nasibnya akan sama seperti Desa Lelilef. Akhirnya kebun-kebun juga habis termasuk ruang hidup warga asli di sana," tuturnya.
Munadi Kilkoda menolak adanya perluasan kawasan industri tersebut. Baginya, penolakan yang dilakukan itu tak lain demi generasi penerus di Halmahera Tengah. Sayangnya, satu suara yang tak berarti nampaknya membuat dirinya pesimis atas hal tersebut.
"Karena semuanya sudah setuju dan diserahkan pemerintah pusat. Jadi yah, saya cukup pesimis," tuturnya.
"Artinya, 22 ribu hektar akan menjadi wilayah kekuasaan perusahaan dan masyarakat tidak mendapat apa-apa, Kalau saya satu persepsi dengan banyak orang pasti dengan lebih mudah. Tapi kalau saya hanya sendiri?," jelasnya.
Ia bahkan sempat mendapatkan diskriminasi. Selama 4 bulan, Munadi tak dilibatkan dalam rapat hingga dikucilkan. Jika menelisik jauh, menurut Munadi, rerata anggota DPRD di Maluku Utara adalah keturunan masyarakat adat.
Namun isi kepala Munadi menggelitik. Pasalnya, rumit untuk menentukan satu tujuan dalam konteks pertahanan hak masyarakat adat ini. Sehingga kata Munadi, ketika hak-hak masyarakat adat didorong ini sulit dipertemukan untuk satu tujuan.
"Padahal kalau dipikir kita ini generasi," tegasnya.
Kondisi DPRD Halmahera Tengah pun ruwet dengan banyaknya oknum-oknum yang terlibat untuk mendapatkan keuntungan individu.
"Akhirnya, kalau idealisme integritas kalau jadi fokus bisa dibeli itu semua. Walaupun kalau dibilang masyarakat asli tapi kalau sudah uang yang berbicara," celetuknya.
Padahal, sambung Munadi, ketika berbicara tentang kawasan industri ada tanah dan ruang hidup masyarakat adat yang menjadi warga lokal asli sejak turun temurun. Dimana, harusnya mengedepankan hak dan pendapat mereka.
Stakeholder pun pada dasarnya terlibat dalam mendorong perluasan konsesi kawasan industri. Meski begitu, menurut Munadi Kilkoda bukan berarti menjadi representatif dari suara masyarakat adat.
"Stakeholder ini kadang-kadang tidak terseleksi, terkadang pemerintah ini sudah menganggap keterwakilan. Keterwakilan yang mana yang dilibatkan kalau cuman kepala desa atau camat, itu tidak masuk dalam representatif atau partisipatif," jelasnya.
Harusnya, kata dia, pemerintah wajib meminta izin langsung kepada masyarakat adat sebagai 'tuan rumah' dari wilayah mereka untuk menyampaikan perencanaan konsesi ini. Tak berharap dari suara kepala desa atau camat yang datang sosialisasi tanpa mendengarkan pendapat para warganya.
Selama ini, menurut Munadi, masyarakat sulit menyampaikan pendapat atau penolakannya karena tak terlibat langsung dalam rapat-rapat perluasan konsesi. Termasuk, memberikan ruang konsultasi sebagai langkah masyarakat dapat mengetahui hak atas apa yang mereka miliki.
Selama dirinya memimpin AMAN, diskusi berulang terkait konflik agraria sudah menjadi hafalan mati yang tak pernah dijadikan acuan penting terkait persoalan perluasan kawasan industri ini. Ia memberi contoh tentang konflik yang terjadi di Weda Utara dan Weda Tengah. Di mana, saat ini masyarakat mengalami ketimpangan ruang karena akses semakin sempit. Perusahaan membeli lahan secara masif mengambil kebun bahkan perkampungan.
"Masyarakat tidak memiliki apa-apa. Sementara kebutuhan mereka untuk tanah juga tak bisa dihindari. Ada yang mau bikin rumah ataupun usaha. Nah kalau sudah tidak ada, dia (masyarakat) mau ambil dimana ?," tuturnya.
Strategi Pencanangan 2 Perda untuk Membentengi Perluasan Kawasan Industri
Masih ada harapan untuk mempertahankan wilayah Halmahera Tengah dari ancaman kawasan industri. Di mana, Munadi Kilkoda bersama rekan-rekannya yang satu tujuan mendorong lahirnya dua Perda penting. Ikhtiar yang dilakukan terus menerus ini agar terciptanya Perda RTRW dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Sayangnya, revisi Perda nomor 01 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah, Maluku Utara, dinilai masih kabur. Sejak didorong pada 2022 lalu, tak ada hasil pasti untuk terwujudnya perda RTRW ini. Bak abu-abu di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Hal ini menurut Munadi harus segera disahkan agar arahan dalam memanfaatkan ruang lebih tepat. Demi menjaga hak-hak yang dimiliki masyarakat adat.
"Saya dan teman-teman menganggap ini pintu masuk ini ada dua produk (Perda) untuk menghalangi dan membatasi investasi ini menjadi semakin masif," tuturnya.
Munadi Kilkoda menyebut harapan yang masih menggantung ini akan terus didesak demi kemaslahatan umat. Karena eksplorasi wilayah industri akan terus terjadi. Jika saja strategi tak dipersiapkan, Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda kebingungan masa depan generasi penerus.
"Kalau kedua (Perda) ini tidak disahkan kita tak tahu seperti apa (Halmahera Tengah) ke depannya," tutur politisi NasDem ini.
Baginya, Perda RTRW ini menjadi persiapan jangka panjang untuk masa depan Halmahera Tengah. Karena menurutnya, yang pertama dan mendasar menjadi pertimbangan terkait perluasan wilayah konsesi lagi-lagi adalah memikirkan kepentingan masyarakat.
"Kadang-kadang menjengkelkan, ketika ikhtiar ini kita lakukan," kesal Munadi. Pasalnya, bagi Munadi begitu rumit menuntaskan Perda yang mendorong kepentingan masyarakat adat, karena perjuangan yang cukup panjang. Terlebih perdebatan yang terus terjadi antara sesama anggota DPRD untuk terciptanya sebuah Perda menjadi satu kendala penting.
Hal tersebut sambungnya, agar nasib Desa Lelilef dan Gemaf tak dirasakan wilayah lainnya yang berada di lingkar utama aktivitas pertambangan.
"Orang yang datang lebih banyak menguasai tanah-tanah produktif. Lelilef contohnya. Untuk pengembangan kampung terutama untuk pemukiman, pemakaman atau fasilitas lain yang akan dibangun itupun sudah sulit karena diapit perusahaan. Teorinya sederhana pertumbuhan akan berkonsekuensi pada kebutuhan ruang. Ruangnya sudah tidak ad tapi pertumbuhan penduduk semakin tinggi," jelasnya.
Meme Maratana, Perempuan Suku O Hongana Manyawa “Dipaksa” Menyerah Karena Urusan Isi Perut

MALAM itu lewat pukul 10, suasana Desa terlihat sepi, sebagian besar warga memilih kembali ke peraduan, beristirahat mempersiapkan diri untuk aktivitas esok hari. Setelah melalui perjalanan selama kurang lebih 12 jam dari desa Sagea, Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, kami akhirnya tiba di Desa Saloat, kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.
Sedikit menguras tenaga, sebagian akses jalan yang kami lewati menggunakan kendaraan roda empat pada, Sabtu 4 November 2023 terbilang cukup para, apalagi di beberapa titik yang ada aktivitas perusahaan tambang. Jalan umum seolah dibiarkan rusak sehingga menyulitkan kendaraan kami untuk melintas.
Saat berada di desa Sagea, kami mendapatkan kabar bahwa ada warga suku Tobelo Dalam atau masyarakat adat O Hongana Manyawa yang keluar hutan dan tinggal di salah satu rumah warga di Saloat. Dia adalah Meme Maratana.
Malam itu, kami sedikit tidak beruntung, karena setiba di desa Saloat, ternyata Meme sudah tidur. Kami akhirnya diizinkan menginap di salah satu rumah warga agar esok hari bisa kembali untuk menemui Meme.
Pagi itu pukul 06.00 WIT, Minggu 5 November 2023, udara terasa masih sangat dingin, namun dipondok kecil berukuran sekitar 1,5 x 2 meter terlihat seorang perempuan duduk sendiri tanpa menggunakan sehelai baju dan hanya menggunakan sarung untuk menutupi sebagian tubuhnya. Udara pagi itu seperti tidak membuat tubuh merasakan dingin.
Awal bertemu pertemuan, wajah Meme terlihat bingung. Mengingat Meme sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia, kami akhirnya dibantu oleh Gigoro dan istrinya untuk menjelaskan maksud dan tujuan kami ingin bertemu dengannya.
Sejak April 2023, Meme terpaksa meninggalkan hutan Ake Jira. Ternyata, Meme mengalami kelaparan karena hasil buruannya hilang dan dedaunan yang biasa disantapnya tergerus oleh alat berat milik perusahaan tambang.
Meme Maratana adalah ibu kandung Bokum, seorang warga O Hongana Manyawa yang pernah dihukum atas tuduhan pembunuhan. Meme yang berusia sekitar 95 tahun, kini menjalani hidup sendirian karena anak-anaknya telah pergi bersama keluarga, melanjutkan kehidupan di hutan Ake Jira. Gigoro, anak dari saudara kandung Meme yang akhirnya membawanya keluar dari hutan.
Gigoro menceritakan bahwa ketika ketika berkunjung ke Ake Jira, Meme terlihat dalam keadaan ketakutan dan pucat, badannya terlihat kurus. Meskipun sebelumnya Ngigoro yang sudah lama meninggalkan hutan tidak pernah meminta keluarganya untuk segera meninggalkan hutan, kini ia bertekad membawa Meme Maitana keluar dari hutan untuk menyelamatkan nyawanya.
Selama dua hari di hutan Ake Jira, Gigoro berusaha membujuk Meme untuk turun. Namun, ketakutan Meme Maitana terhadap masyarakat pesisir begitu besar.

"Ibu (Meme) saya ini jauh, jadi nanti sebulan baru saya datang," kata Gigoro membujuk sang tante untuk ikut dengannya.
Menurut Gigoro, budaya dari suku O Hongana Manyawa sangat kuat. Ketika hati dan jiwa telah menyatu dengan hutan, sangat sulit untuk pindah ke tempat lain yang bukan hutan. Dahulu, Meme tinggal bersama suami, anak-anak, menantu, dan cucu. Namun, karena merasa terganggu oleh eksploitasi tambang, keluarga Meme keluar dari hutan. Meme masih ingin bertahan di hutan Ake Jira.
Pada suatu waktu, Gigoro sempat kehilangan jejak Meme Maitana karena ternyata Meme sudah berpindah lokasi untuk bertahan hidup. Untungnya, langkah Meme tidak begitu jauh dari lokasi sebelumnya. Meme bahkan bersyukur ketika Ngigoro datang bersama seorang aktivis lingkungan Halmahera. Sepertinya, ada yang datang menjenguknya.
Ternyata, Meme berpindah lokasi karena luasnya konsesi lahan yang dilakukan oleh perusahaan tambang yang mengancam wilayahnya. Meme mengungkapkan bahwa ia kelaparan di hutan karena kehilangan hasil buruan. Selama tiga bulan tanpa hasil buruan, tubuh Meme menjadi kurus. Awalnya, Meme bersikeras tinggal di hutan, tetapi akhirnya dengan terpaksa meninggalkan rumahnya dan pergi bersama keponakannya, Ngigoro.
Di perjalanan menuju pemukiman warga, Gigoro dan Meme nekat menumpang di mobil perusahaan tambang yang beroperasi di hutan Ake Jira. Namun, Meme yang tidak terbiasa naik kendaraan terlihat ketakutan hingga muntah.
Saat tiba di Desa Saolat, Meme Maitana kelelahan. Ngigoro akhirnya dibantu oleh warga setempat, termasuk Mama Leani (50), ibu dari Yuliani Pihang (29). Meskipun tidak memiliki hubungan darah, mereka bersedia menampung Meme dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Yuliani Pihang sendiri adalah seorang aktivis lingkungan yang kerap memperjuangkan hutan adat O Hongana Manyawa. Tindakan Gigoro memastikan kondisi Meme dan dukungan dari Yuliani Pihang menjadi pendorong langkah selanjutnya.
Tubuh Meme begitu lembut, dihiasi oleh garis kerutan yang membentang di sekujur tubuhnya. Rambutnya telah memutih, dan matanya menatap tajam, menyiratkan kebijaksanaan. Sesekali, Meme Maitana menyelipkan candaan dengan kehangatan yang memancar. Senyum di wajahnya terlihat ringan, tanpa beban. Jika kita mencoba menebak pikiran Meme, mungkin terdapat pertanyaan dalam hatinya mengenai akhir hidupnya nanti. Apakah ia akan kembali ke tanah leluhurnya hingga akhir hayat? Ataukah ia akan menutup mata di tempat lain selain tanah leluhur?
Kehangatan keluarga Yuliani Pihang membuat Meme merasa sangat nyaman tinggal di pedesaan. Ia tidak merasa seperti orang asing, melainkan seperti nenek kandung sendiri. Meskipun Meme memiliki gaya hidup yang berbeda di hutan, keluarga Yuliani Pihang menerima keberadaannya tanpa keberatan.
Trauma karena kehabisan bahan makanan di hutan membuat Meme enggan kembali ke rumah lamanya. Ia memilih untuk menjaga diri, meski itu berarti harus melepaskan tanah leluhurnya. Tidak ada yang tersisa kecuali kenangan, ditambah dengan beberapa perabot yang berhasil ia bawa dari Ake Jira.
Beradaptasi dengan Kehidupan di Pedesaan

Tujuh bulan Meme tinggal di desa Saloat. Meski sudah berlalu beberapa bulan, Meme masih kesulitan untuk beradaptasi. Ia enggan memasuki rumah karena terganggu dengan suara gemuruh hujan yang jatuh ke atap. Bahkan untuk makan, Meme tidak mampu menikmati masakan rumahan dengan cita rasa bumbu khas Halmahera. Oleh karena itu, ayah Yuliani Pihang membangunkan sebuah rumah di Desa Saolat yang mirip dengan yang ada di hutan, beratapkan rumbia dengan dinding kayu. Meski tidak seindah tempat persinggahan di hutan, Meme Maitana berusaha untuk memakluminya.
Meme tetap mempertahankan gaya hidup tradisional O Hongana Manyawa. Bahkan dalam memasak, ia menggunakan bambu sebagai wadah untuk memasak air dan makanannya. Bambu tersebut digunakan untuk memasak air hingga memasak makanannya. Tas yang terbuat dari dedaunan dan senjata berburu tetap menjadi bagian dari perlengkapan Meme.
Satu-satunya kegiatan yang tidak dilakukan Meme adalah berburu dan mencari ikan di sungai. Oleh karena itu, ia mendapatkan ikan dari tuan rumah untuk memenuhi kebutuhan makanannya, termasuk nasi dan umbi-umbian.
Setiap hari, Meme memasak dan membagikan hasil masakannya kepada orang-orang di rumah. Meskipun kadang-kadang tuan rumah mencoba membalas kebaikannya dengan makanan khas Halmahera, Meme tetap menolak karena tidak sesuai dengan selera dan kebiasaannya.
Gigoro merasa sedih melihat nasib leluhur dan Meme Maratana. Dampak dari pengerukan nikel di Ake Jira menghancurkan generasi penerus O Hangana Manyawa yang selama ini hidup damai di hutan. Dengan tegas, Gigoro menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah dan perusahaan adalah bentuk penjajahan. Mereka dianggap memanfaatkan ketidakpahaman O Hongana Manyawa untuk mengambil kekayaan alam tanpa izin.
"Kalau memang kita bodoh, ya kita orang bodoh. Tapi secara kasar, dunia ini belum merdeka. Hak milik orang harus dihormati. Tapi jika hak milik kita diambil orang lain, itu artinya masih ada penjajahan," ujarnya.
Gigoro berusaha membuka jalur musyawarah dengan pihak perusahaan untuk mengatur wilayah tanpa harus merusak hutan Ake Jira. Ia ingin membagi hutan tersebut agar tidak habis sepenuhnya.
"Baru-baru ini, saya mencoba berbicara dengan perusahaan untuk bekerja sama mengatur wilayah tanpa harus menghancurkan hutan Ake Jira sepenuhnya," jelasnya.
Namun, Gigoro sadar bahwa dirinya hanya seorang individu yang tidak memiliki kekuatan besar. Meskipun ia bersikap pasrah, di sisi lain, ia tetap bertekad untuk melawan hingga titik darah penghabisan. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan hutan Ake Jira sebagai tempat makam leluhur dan ratusan masyarakat adat yang tinggal di dalamnya.
Rumah Mereka adalah Hutan

Sebelum kehidupan Meme Maratana diambil paksa, Yuliani Pihang segera mengambil langkah dengan menyelamatkan Meme Maitana di kediamannya. Yuliani menyadari bahwa seberapa pun nyaman tempat tinggal Meme saat ini, ia pasti akan selalu merindukan hutan. Meskipun begitu, Yuliani Pihang juga bertekad untuk mempertahankan Ake Jira sebagai tanah leluhur, meski eksploitasi tambang nikel besar-besaran terus berlanjut dan sulit dihentikan.
"Apapun yang terjadi, Meme akan tetap merindukan hutan. Karena hutan adalah rumah. Saya harap, walaupun proses eksploitasi telah dimulai, kita bisa bersama-sama berjuang untuk membangun tembok pemisah antara hasil perusahaan dan tempat tinggal masyarakat Tobelo Dalam," ujarnya.
"Meskipun kita tidak bisa menghentikan semuanya, kita harus memperjuangkan yang masih bisa kita pertahankan di sana (hutan). Kita harus peduli, karena bukan hanya Meme yang memiliki masa lalu di sana, tetapi juga anak cucu yang masih berada di dalam hutan. Mereka jumlahnya banyak, mungkin ratusan atau ribuan," tambahnya.
Namun, menurut Yuli sapaan akrab Yuliani Pihang, masyarakat Tobelo Dalam sulit dijangkau oleh orang asing.
"Mereka sangat sulit dijangkau. Jadi kita harus menghormati itu. Namun, kita tidak boleh berhenti berjuang. Bahkan pemerintah juga harus memperhitungkan jumlah mereka. Mereka perlu tahu bahwa masyarakat Tobelo Dalam ada di sana. Jika mereka merasa terancam, pasti mereka akan keluar. Walaupun perjuangan ini mungkin memerlukan waktu, kita tidak boleh gegabah dalam hal ini," katanya.
Yuli menyampaikan bahwa selama ini, masyarakat Tobelo Dalam tidak pernah dilibatkan dalam proses pengerukan hutan Ake Jira untuk kepentingan eksploitasi nikel oleh berbagai perusahaan tambang yang beroperasi dengan izin dari PT Weda bay Nickel dan IWIP.
Perusahan PT IWIP ketika diminta konfirmasi atas Perusahan lingkungan yang berdampak pada masyarakat secara ekonomi, sosial dan kesehatan, PT IWIP hingga saat ini belum memberikan jawaban.
Melalui surat resmi yang disampaikan AJI Indonesia karena liputan ini merupakan liputan kolaborasi dengan nomor: 506/AJI-KU/Peng/XI/2023 dikirimkan melalui humas PT IWIP pada 14 November 2023, dan berulangkali dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp namun tetap belum memberi jawaban hingga berita diterbitkan.
(*)
Liputan ini merupakan liputan Fellowship kolaborasi dilakukan AJI Indonesia, Traction Energi Asia dan Kalesang.id, SKH Mercusuar dan TribunnewsSultra.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.