Perjalanan ke Benteng Oranje Ternate Jejak Kekayaan Flora dan Fauna Maluku hingga Makam Noni Belanda
Berikut ini perjalanan jurnalis TribunnewsSultra.com, Desi Triana ke Benteng Oranje Ternate, Maluku Utara pada awal Novemer 2023. Simak perjalanannya.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Desi Triana Aswan
Laporan Wartawan TribunnewsSultra.com, Desi Triana
TRIBUNNEWSSULTRA.COM- Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 6 November 2023, saya menginjakan kaki di sebuah museum yang ada di area Benteng Oranje Ternate, Maluku Utara. Namanya, Museum Sejarah Ternate.
Bagi saya yang baru menginjakan kaki di Ternate, rasa-rasanya harus mengabadikan momen di tempat bersejarah itu. Terlebih, lokasi penginapan tempat saya tinggal jaraknya tak begitu jauh. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Termasuk dalam wilayah Kelurahan Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah.
Awalnya, saya hanya sekedar datang untuk berswafoto sejenak di benteng VOC pertama di Indonesia itu. Karena harus menyiapkan waktu kepulangan menuju Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Kondisi cuaca yang sedikit mendung dan gerimis perlahan jatuh, tak menyurutkan semangat untuk singgah sejenak.
Apalagi, saat itu saya berjalan dengan dua rekan jurnalis dari Ternate dan Palu. Makin menambah rasa semangat saya berpetualang. Kami menelusuri bangunan Benteng Oranje yang begitu eksotis. Saya sempat berceletuk jika bangunan tersebut, begitu mirip dengan Benteng Fort Rotterdam di Kota Makassar. Ya, keduanya sama-sama jejak sejarah.
Benteng Fort Rotterdam dibangun lebih dulu pada 1545. Sedangkan, Oranje hadir setelah 62 tahun Fort Rotterdam berdiri. Tepatnya pada tanggal 26 Mei 1607 oleh Cornelis Matclief de Jonge dan diberi nama Benteng Oranje oleh Francois Wiltlentt. Kala itu, Kota Ternate berada di masa Pemerintahan Sultan Mudaffar tahun 1609.
Meski begitu mirip, namun banyak perbedaan dari kedua bangunan benteng ini. Hal paling mendasar adalah, jejak sejarah yang pernah terjadi bertahun-tahun silam.
Baca juga: 7 Destinasi Wisata di Kota Baubau Sulawesi Tenggara, Ada Pantai, Benteng hingga Permandian Alam
Yang awalnya hanya sekedar niat mengabadikan momen di Benteng Oranje, ternyata tak sengaja bertemu dengan Kepala Museum Sejarah Ternate, Rinto Taib. Ia menyapa kami dengan begitu semangat. Kebetulan, Rinto Taib juga mengenal salah satu diantara kami, yakni Yuanita Kaunar, jurnalis puan asal Ternate.
"Mau liat museum?," tuturnya.
Tentu saja dengan senang hati dan bersemangat mendengar pertanyaan tersebut. Alhasil kami langsung diajak untuk melihat dalam museum yang kala itu pintunya sedang ditutup. Rinto Taib dengan senang hati membukakannya untuk kami. Di awal pertemuan tersebut, Rinto Taib bertanya tentang asal saya dan rekan jurnalis dari Palu.
"Ada yang dari Sulawesi Tenggara?," tanyanya saat membuka pintu museum.
Saya dengan gerakan cepat langsung menjawab pertanyaan tersebut. Ya, saya dari Kendari Sulawesi Tenggara tapi asli orang Wanci Wakatobi. Ternyata, pertanyaan Rinto Taib itu memiliki maksud memberi informasi terkait pembangunan museum Wallacea seperti di Sulawesi Tenggara.
Hal itu, membuka awal perbincangan kami. Ia menyebut adanya museum Wallacea yang nanti akan dibangun di samping Benteng Oranje Ternate sebagai sarana peniliti flora ataupun fauna. Sama seperti yang ada di Sulawesi Tenggara di mana pada tahun 2012 silam, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh saat itu meresmikan Museum Wallacea di Universitas Haluoleo Kendari. Bahkan museum Wallacea UHO ini menjadi yang pertama di Indonesia saat itu.
Melansir Bobo Grid.id, garis Wallace adalah garis khayal yang membagi flora dan fauna di wilayah Indonesia. Disebut garis Wallace karena ditemukan seorang peneliti, yaitu Alfred Russel Wallace. Peneliti tersebut berasal dari Inggris. Ia memulai penelitiannya sejak tahun 1854 hingga 1862. Fauna dan Flora ini terletak di wilayah tengah Indonesia meliputi Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara serta pulau-pulau keci di sekitarnya.
Persebaran flora dan fauna berdasarkan garis wallace ini merupakan percampuran antara tipe asiatis dan tipe australia. Sehingga banyak ditemukan jenis-jenis flora dan fauna yang mirip dan sama jenisnya. Contoh-contoh fauna kepulauan wallace meliputi babi rusa, anoa, komodo, buaya hingga ular.
Pada tahun 2005, Pulau Hoga Wakatobi yang masuk dalam garis Wallace juga menjadi aktivitas para peneliti dan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dan Amerika melakukan penelitian di tempat tersebut. Dengan tujuan melestarikan kekayaan alam Indonesia.
Kedepannya, Museum Wallace di Maluku Utara juga akan menjadi sasaran peneliti untuk melakukan aktivitas penelitiannya.
Setelah obrolan soal wacana dibangunnya Museum Wallacea di Maluku Utara, Rinto Taib menjelaskan tentang Benteng Oranje yang menyimpan banyak sejarah dan kekayaan Kota Ternate yang dikenal dengan kekayaan rempah-rempahnya.
Di sana, saya dan kedua rekan jurnalis diajak melihat peninggalan sejarah. Mulai dari prasasti, benda pusaka, lukisan, hingga rempah-rempah dari Maluku Utara.
Di ruang utama museum, kami disambut sebuah batu prasasti berbahasa Belanda milik Kapten Komandan dan Mayor Kehormatan Belanda di Ternate, Maarten Dirk van Rennese van Duivenbode. Ia seorang saudagar kaya yang memiliki sejumlah kapal untuk melayani perusahaan dagang Belanda. Sosoknya berperan penting dalam perjalanan VOC di Maluku Utara. Meski keturunan Belanda, ia dilahirkan dan meninggal di Ternate.

"Dia ini sangat kaya. Saking kayanya, kekayaan yang dimilikinya didonasikan untuk membangun gereja di Ternate," tutur Rinto Taib.
Bagi Rinto Taib keberadaan prasasti ini menjadi bukti perjalanan seorang Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris yang meneliti flora dan fauna di Indonesia pada awal abad ke-19. Sehingga semakin menguatkan jejak adanya garis Wallacea yang ada di Maluku Utara.
Tak hanya sebuah prasasti namun juga deretan foto tentang flora dan fauna di Maluku. Seperti, burung Kakatua Maluku, Nuri Bayan, Perkici Pelangi, Nuri Maluku, Walik Kembang yang merupakan satwa liar dilindungi undang-undang dan merupakan salah satu jenis satwa endemik Kepulauan Maluku dengan penyebaran alaminya berada di wilayah Pulau Ambon, Pulau Seram dan Pulau Buru.
Berjalan ke arah kanan bangunan Museum Sejarah Ternate masih di kawasan Benteng Oranje ada sebuah ruangan yang memperlihatkan kekayaan flora Maluku. Tentu saja, deretan rempah-rempah khas Maluku yang begitu terkenal sepanjang masa. Menjadi daya tarik kedatangan VOC ke Indonesia. Seperti cengkeh, pala, ketumbar dan masih banyak lagi yang disimpan rapih dalam wadah.
Adapula deretan barang-barang antik yang masih terjaga, diantaranya lukisan, piring, kursi, hingga hiasan dinding. Termasuk lukisan-lukisan sejarah mengenai tanaman endemik cengkeh. Termasuk catatan Antonio Pigafetta tentang cengkeh yang dalam bahasa Prancis disebut l'arbre de girofl
Eksotisme Makam Noni Belanda

Saya begitu terpukau, dengan sebuah makam yang berada di dalam bangunan museum. Letaknya ada di sudut kiri dari arah pintu masuk. Makam tersebut berada dalam ruangan tersendiri. Kondisinya begitu terurus. Makam yang terbuat dari beton itu dipercaya milik seorang noni Belanda bernama Susanna De Carf. Ia meninggal pada tahun 1667.
Dalam sebuah prasasti atau nisan yang ada di makam tersebut, diyakini Rinto Taib tentang sosok Susanna De Carf adalah seorang putri ataupun memiliki gelar ratu.
Hal itu juga tertera pada prasasti yang bertuliskan latin dalam bahasa Belanda. Makam tersebut juga di kelilingi rantai besi agar tak terinjak oleh siapapun.
Saat saya mengabadikan foto di samping makam Susanna De Carf, aura mistis begitu terasa. Seketika kami semua terdiam, dan tak banyak bicara. Hanya mencoba merasakan nuansa eksotis dari ruangan makam tersebut.
Museum Rempah-rempah Ternate

Perjalanan saya di Benteng Oranje tak berhenti sampai di situ. Setelah melihat jejak sejarah di Museum Sejarah Ternate, kami melanjutkannya lagi ke sebuah bangunan lain. Namun masih dalam kawasan yang sama. Tepatnya di Museum Rempah-rempah Ternate. Lokasinya berada di samping museum pertama yang kami sambangi. Saat memasuki ruangan, terlihat bangunan tersebut telah di desain begitu ciamik dan kekinian. Sekat berwarna putih, diberi kan banyak informasi terkait Museum Rempah-rempah Ternate ini. Rinto Taib tak begitu banyak menjelaskan. Pasalnya, di sini banyak tulisan yang tersematkan, menjelaskan isi bangunan Museum Rempah-rempah Ternate.
Di sini, bau khas aroma cengkeh tercium sejak awal menginjakan kaki depan bangunan tersebut. Aroma pala, cengkeh, kayu manis, dan lainnya menyatu, merasuk dalam hidung dan menciptakan sebuah sensasi penelusuran di masa lampau.
Berbeda dari museum sebelumnya, kali ini kami melihat banyaknya kekayaan flora di Kepulauan Maluku secara keseluruhan. Kekayaan sumber daya alam di Maluku ini, menjadi daya tarik dunia di abad ke-15. Manfaat yang diberikan rempah-rempah ini tak hanya mengubah sejarah. Namun memberikan khasiat pengobatan hingga pengawetan mayat, bumbu masakan tentu saja dan untuk keperluan kosmetika.
Ada sebuah ruangan dalam bangunan ini, menjadi tempat foto estetik menurut saya. Di mana, hampir ratusan berbagai jenis rempah dimasukkan ke dalam wadah toples. Toples itu tersusun rapih setiap barisnya. Menampilkan sebuah makna kekayaan rempah-rempah di Maluku. Tentu saya tak lupa berdiri di tengah-tengah ratusan rempah, dan meminta rekan saya mengabadikannya.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.