Berita Kendari

Mengenal Prosesi Adat Karia Asal Muna, Dilestarikan hingga Daerah Kota Kendari Sulawesi Tenggara

Mengenal prosesi adat Karia asal suku Muna Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Masih sering dilaksanakan untuk melestarikan budaya daerah.

Amelda Devi Indriyani
Adat Karia asal suku Muna Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM, KENDARI - Mengenal prosesi adat Karia asal suku Muna Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Karia sendiri merupakan bahasa Muna yang berarti pingitan. Adapun tradisi Karia sendiri sebagai prosesi penyucian diri perempuan Muna.

Proses pingitan khas suku Muna ini diperuntukkan bagi anak-anak gadis yang dianggap telah mampu bertanggungjawab atau bertahan hidup.

Baca juga: Setelah 31 Tahun, Kabuenga Kembali Digelar di Baubau Sulawesi Tenggara, Tradisi Masyarakat Wakatobi

Dengan tujuan, setalah dipingit sifat buruk bisa berkurang dari anak-anak gadis ini sehingga bisa bersikap lebih baik.

Prosesi adat Karia masih dilestarikan hingga saat ini bahkan di tengah-tengah kehidupan kota yang notabene kehidupannya lebih modern mengikuti perkembangan zaman.

Seperti hajatan Karia yang diselenggarakan keluarga keturunan La Ode Marambati, berlangsung dengan meriah di Kelurahan Kadia, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), pada Senin (6/11/2023).

Biasanya orang Muna akan di pingit selama satu minggu namun ada juga yang mengadakan pingitannya hanya tiga hari, atau dua hari seperti yang dilakukan keluarga La Ode Marambati.

Dalam hajatan Karia itu, sekiranya ada 12 gadis yang merupakan cucu-cucu dari La Ide Marambati mengikuti prosesi adat pingitan.

Seorang perwakilan keluarga penyelenggara hajat, La Ode Riago mengatakan prosesi adat Karia ini merupakan tradisi warisan para leluhur.

Karia baru bisa dilakukan setelah beberapa proses kehidupan telah dilewati, mulai dari baru dilahirkan, disunat hingga di Katoba atau diislamkan.

Baca juga: Meriahnya Festival Kande-kandea di Buton Tengah Sulawesi Tenggara, Tradisi yang Ada Sejak 1597

Di mana Katoba sendiri, yakni memperkenalkan anak-anak dengan hal-hal yang baik dan tidak baik, pengenalan diri sendiri termasuk mengenal Allah, tujuannya untuk pedoman selama hidup semenjak setelah disunat.

"Ketika melahirkan anak putra maupun putri, sebelum pingitan anak-anak harus di sunat."

"Kalau di suku lain berhenti sampai di sunat, kalau kami tidak berhenti disitu, setelah sunat mereka akan di Katoba atau diislamkan," kata La Ode Riago.

"Jadi yang putus sampai disitu hanya laki-laki. Perempuan masih lanjut di Karia. Karia ini adalah pingitan," jelasnya menambahkan.

La Ode Riagi mengatakan dalam proses adat Karia ada beberapa tahapan yang dilakukan.

Mulai dari membuatkan Kagombo atau ruangan tertutup dan gelap sebagai kerangkeng untuk mengurung sang gadis selama dua hari dua malam.

Simbol suasana kegelapan dan ketenangan digambarkan seperti dalam kandungan ibu.

Dalam ruangan tertutup itu, sang gadis akan menerima berbagai petuah dan ajaran tentang kehidupan, baik sebagai seorang anak, anggota masyarakat.

Maupun sebagai calon istri dan ibu, termasuk mendapatkan pelatihan untuk memperkuat mental dan fisiknya.

Baca juga: Pria Asal Sultra Akan Kenalkan Baju Adat Buton ke Australia Saat Ikut Pertukaran Pemuda Antar Negara

"Selama dua hari dua malam melakukan ritual dalam ruangan tertutup sesuai dengan tahta leluhur," jelasnya.

Di dalam ruangan tersebut terdapat Pomantoto atau orangtua yang menjaga para gadis Muna selama berada di dalam Kagombo.

Sang gadis harus mematuhi peraturan selama dikurung, seperti tidur setiap dua jam sekali dengan posisi menghadap kiri untuk membuang semua hal yang buruk.

Dua jam kemudian menghadap ke kanan yang dimaknai sebagai kebaikan.

Peraturan selanjutnya yaitu makan dan minum harus mengikuti suara gong yang ada di luar ruangan Kagombo.

Saat berada di dalam ruangan Kagombo para perempuan yang di pingit tidak diperbolehkan untuk buang air besar.

Apabila seorang perempuan tersebut buang air besar maka dipercayai dia akan dapat kesialan.

Dan setelah di pingit selama beberapa hari, mereka akan keluar dan disuruh memakan sirih.

Untuk mengungkapkan bahwa kehidupan di luar itu akan lebih keras daripada sirih yang mereka makan.

Selama dikurung mereka tidak diperbolehkan menginjak tanah, sehingga ketika keluar ruangan mereka akan digendong dengan dua orang laki-laki.

Jika si perempuan memiliki saudara laki-laki alangkah lebih bagus jika saudara laki-lakinya yang menggendong.

Kemudian diturunkan satu persatu-satu ke tempat duduk yang sudah disiapkan.

Kemudian kaki mereka akan dijejalkan ke tanah yang sudah disiapkan pula di piring yang dibawakan oleh salah satu orang yang dituakan serta mereka dibacakan doa oleh imam.

Baca juga: Gaya Bupati Konut Ruksamin dan Pj Gubernur Sultra Andap Berpakaian Adat di Festival Wakatobi Wave

Selanjutnya para gadis menarikan Tari Linda secara bergantian di hadapan para keluarga yang hadir diiringi musik gong.

Setelah ritual pengesahan dibacakan doa dan dilanjutkan pemotongan pohon pisang yang dilakukan dengan tarian silat Muna atau Powele

Tarian Ini merupakan sebagai tanda akhir dari pada proses pingitan.

"Gerakan tarian silat ini diambil dari silat jaman dulunya dilakukan oleh para pengawal kerajaan."

"Silat muna sebagai bagian tanda akhir prosesi acara dengan pemotongan pisang," jelasnya.

Ia berharap tradisi leluhur ini terus dilestarikan dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

Apalagi prosesi adat Karia ini merupakan tradisi wajib yang dilakukan oleh para gadis Muna.

Sebab jika tidak dilakukan maka akan dikenakan sanksi moral seperti ditegur oleh para orangtua.

"Karia ini suatu titipan nenek moyang dan leluhur kami ketika sudah menjelang dewasa atau mau menikah atau setelah menikah diwajibkan untuk di Karia," ujarnya.

(TribunnewsSultra.com/Amelda Devi Indriyani)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved