Rusia Ancam Bakal Putuskan Hubungan dengan AS gegara Biden Sebut Putin Penjahat Perang di Ukraina

Buntut dari ucapan Presiden AS Joe Biden yang menyebut Putin sebagai penjahat perang di Ukraina, Rusia ancam bakal putuskan hubungan dengan AS.

Penulis: Nina Yuniar | Editor: Ifa Nabila
Kolase Tangkapan Layar The Guardian
Presiden Amerika Serikat Joe Biden (Kanan) sebut Presiden Rusia Vladimir Putin (Kiri) sebagai penjahat perang karena melancarkan serangan dalam invasi berskala penuh ke Ukraina. 

TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Buntut dari sebutan 'penjahat perang' yang diserukan Presiden Amerika Serikat Joe Biden terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin membuat Moskow geram.

Diketahui bahwa beberapa waktu lalu, Biden menyebut Putin sebagai 'penjahat perang' sebagai tanggapan atas invasi pasukan Rusia di Ukraina.

Dilansir TribunnewSultra.com dari The Guardian, akibat ucapan Biden terhadap Putin tersebut, Rusia mengancam akan memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat.

Rusia telah memperingatkan pelanggaran hubungannya dengan Washington dan memanggil duta besar AS di Moskow untuk protes resmi atas pelabelan Biden terhadap Putin sebagai penjahat perang.

Baca juga: Dulu Selamat dari Holocaust Nazi, Kakek 96 Tahun di Ukraina Tewas Kena Roket Pasukan Rusia

Hal itu terjadi saat Biden mengadakan pembicaraan dengan sekutu Eropa tentang upaya untuk menghentikan invasi Rusia di Ukraina.

Biden berbicara dengan para pemimpin Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia pada Senin (21/3/2022).

Sebagai bagian dari upayanya untuk mempertahankan front persatuan di Moskow, di tengah tanda-tanda keretakan di dalam UE tentang seberapa jauh penerapan sanksi terhadap minyak dan gas Rusia.

Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan telah memanggil duta besar AS John Sullivan untuk pertemuan mengenai 'pernyataan yang tidak dapat diterima' baru-baru ini oleh Biden tentang Putin.

Baca juga: Rusia Tuding Pejuang Nasionalis Ukraina Gunakan Warga Sipil sebagai Perisai Manusia

Yakni beberapa hari setelah Biden menyebut Putin sebagai 'penjahat perang' di tengah pemboman kota-kota Ukraina.

Kemlu Rusia mengatakan dalam sebuah pernyataan "ditekankan bahwa pernyataan seperti ini oleh presiden Amerika, yang tidak layak untuk seorang figur negara berpangkat tinggi, menempatkan hubungan Rusia-Amerika di ambang pelanggaran."

Diketahui bahwa AS dan Uni Soviet mempertahankan hubungan diplomatik dari tahun 1933, selama perang dingin.

Tetapi hubungan antara Washington dan Moskow menjadi jauh lebih tidak stabil sejak Putin memulai kampanye perluasan wilayah.

Baca juga: UPDATE Hari Ke-27 Perang Rusia Vs Ukraina: Zelenskyy Desak Ingin Segera Negosiasi dengan Putin

Juru Bicara Kemlu AS, Ned Price pun mencemooh keluhan Kremlin tentang bahasa Biden dalam konteks perang brutal.

“Sangat kaya mendengar sebuah negara berbicara tentang 'komentar yang tidak pantas' ketika negara yang sama (Rusia) terlibat dalam pembantaian massal," sebut Price.

"Termasuk pemogokan dan serangan yang telah mengakibatkan nyawa warga sipil (hilang), pemogokan dan serangan, rentetan yang telah meratakan kota-kota sipil, invasi 100.000 lebih pasukan terhadap sebagian besar penduduk sipil,” sambungnya.

“Kami terus melihat serangan membabi buta terhadap warga sipil yang kami yakini dalam banyak kasus disengaja,” Juru Bicara Departemen Pertahanan AS John Kirby, Senin (21/3/2022).

Baca juga: Joe Biden Bakal Kunjungi Polandia Bahas Perang Rusia Vs Ukraina hingga Boris Johnson Ingin ke Kyiv

Seraya menyebut AS melihat bukti jelas bahwa pasukan Rusia melakukan kejahatan perang.

Inggris, Prancis, Albania, Irlandia, dan Norwegia juga menuduh Rusia melakukan kejahatan perang di Ukraina.

Sementara itu, Mahkamah Internasional PBB (ICJ) telah memerintahkan Moskow untuk menghentikan invasinya.

Selain itu, seorang jaksa di pengadilan kriminal internasional telah melakukan penyelidikan terkait kejahatan perang ini.

Baca juga: Perang kian Panas, Rusia dan Ukraina Kini Rebutan Kota Mariupol: Pertempuran Terjadi di Setiap Jalan

Adapun ketika Ukraina menentang ultimatum Rusia untuk menyerahkan kota pelabuhan Mariupol, para Menteri Luar Uni Eropa berkumpul di Brussel.

Para pejabat UE itu bertemu untuk membahas sanksi lebih lanjut terhadap Rusia pada awal minggu diplomasi yang intens.

Tetapi setelah empat putaran sanksi UE dalam tiga minggu, ketegangan pun muncul.

Negara-negara Baltik dan Polandia menyerukan tindakan yang lebih keras, termasuk embargo minyak.

Baca juga: Ukraina Mulai Melunak ke Rusia, Zelensky Mau Penuhi Syarat Putin, Tapi Tolak Menyerahkan Mariupol

Sedangkan Jerman khawatir larangan energi jangka pendek akan menyebabkan pengangguran dan kekurangan bahan bakar.

Menlu Lithuania, Gabrielius Landsbergis mengatakan bahwa "tidak dapat dihindari untuk mulai berbicara tentang sektor energi, terutama minyak,"

Yang mana menurut Landsbergis, minyak merupakan pendapatan terbesar untuk anggaran Rusia dan juga cukup mudah diganti untuk UE.

UE yang mengimpor 27 persen minyaknya dari Rusia, sejauh ini belum bergabung dengan AS dan Inggris dalam penerapan embargo.

Baca juga: PM Inggris Boris Johnson Sangat Ingin Berkunjung ke Ukraina: Ikut Merasakan Penderitaan Rakyat

Beberapa negara barat lainnya bergantung pada energi Rusia seperti Jerman yang meliputi 55 persen gas alam, 52 persen batu bara, dan 34 persen minyak mineral.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pun juga mendesak Eropa untuk menghentikan semua perdagangan dengan Rusia.

“Tidak ada euro untuk penjajah (Rusia). Tutup semua port Anda untuk mereka. Jangan mengekspor barang Anda kepada mereka. Tolak sumber energi. Dorong Rusia untuk meninggalkan Ukraina,” ujar Zelenskyy dalam pidato video pada Senin (21/3/2022).

Berbicara kepada Jerman secara langsung, Zelenskyy berkata: “Anda memiliki kekuatan. Eropa memiliki kekuatan.”

(TribunnewsSultra.com/Nina Yuniar)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved