Ramadan 2021
Inilah Hukum Utang Puasa Ramadan untuk Orang yang Sakit Parah, Dilihat dari Harapan Sembuh
Apakah orang yang sakit parah boleh tidak puasa Ramadhan? Bagaimana cara membayar utangnya? Inilah penjelasan dari ustaz ahli fikih.
Penulis: Ifa Nabila | Editor: Ifa Nabila
TRIBUNNEWSSULTRA.COM - Umat muslim mulai menjalankan ibadah puasa Ramadhan pada Selasa (13/4/2021).
Tidak semua orang dapat menjalankan ibadah puasa Ramadan karena berbagai sebab.
Bagaimana jika seseorang menderita suatu penyakit, apakah boleh untuk tidak berpuasa dan haruskah membayar utang puasa?
Dikutip TribunnewsSultra.com, Mubalig Pakar Fikih Ustaz Tajul Muluk menjelaskan perihal ini.
Melalui tayangan YouTube Tribunnews.com, Ustaz Tajul Muluk membeberkan beberapa sebab orang boleh untuk tidak berpuasa.
Baca juga: Hari Pertama Puasa Ramadan, Besar Manfaatnya untuk Kurangi Risiko Sakit Jantung dan Kolesterol
"Masing-masing orang punya alasan tersendiri (berutang puasa), misalnya ada orang yang berutang puasa karena sakit atau safar perjalanan, atau karena Beliau tidak mampu karena sudah tua," ungkapnya.
Bagi orang yang bepergian jauh, maka dibolehkan untuk tidak berpuasa dan membayarnya di kemudian hari.
"Orang yang dalam safar itu ia berutang puasa, maka dia bersegera untuk membayar utang puasanya," ujar Ustaz Tajul Muluk.
Sementara itu, untuk orang sakit, ada kriteria tersendiri, yakni apakah masih ada harapan untuk kesembuhan penyakit yang diderita.
Baca juga: Jadwal Imsakiyah Kendari 2021 Hari ke-2 Ramadhan 1422 H Rabu 13 April, Niat Puasa dan Doa Buka Puasa
"Bagi orang yang sakit, utang puasanya dilihat dulu apakah sakitnya itu, kata ulama fikih, bisa diharapkan kesembuhannya tidak," kata Ustaz Tajul Muluk.
"Kalau masih bisa diharapkan kesembuhannya, maka dia membayar utang puasa itu setelah dia sembuh."
"Tapi apabila dia harapan sembuhnya dari sakit yang ia derita itu sangat kecil, maka ia tidak dibebani untuk membayar utang puasa, bahkan bisa jadi nanti diambil alih oleh keluarganya (atau) walinya," paparnya.
Sementara itu, wanita haid juga diwajibkan membayar utang puasa seperti layaknya orang safar.
Berbeda dengan orang hamil atau menyusui setelah nifas yang harus dengan rekomendasi ahli atau dokter.
Tidak boleh berasumsi sendiri apakah dirinya bisa tidak berpuasa atau tidak.
Jika dokter sudah merekomendasikan tidak usah berpuasa terlebih dahulu, maka wanita tersebut boleh membayar utangnya di kemudian hari.
Sekilas tentang Aturan Berpuasa
Dikutip TribunnewsSultra.com dari Buku Panduan Ramadhan Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah terbitan Pustaka Muslim, dijelaskan beberapa hal berikut:
Syarat Wajib Puasa
- Sehat, tidak dalam keadaan sakit
- Menetap, tidak dalam keadaan bersafar atau perjalanan
- Suci dari haid dan nifas
Orang yang Mendapat Keringanan Puasa
- Orang sakit
- Orang yang bersafar
- Orang yang sudah tua renta
- Wanita hamil dan menyusui
Pembatal Puasa
- Makan atau minum dengan sengaja
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau bercelak.”
Pendapat dari berbagai ulama muncul dalam perkara ini.
Di antaranya berpendapat jika yang dimasukkan secara sengaja ke dalam tubuh adalah makanan atau minuman, maka puasa batal.
Namun jika yang dimasukkan secara sengaja bukan berupa makanan dan minuman, semisal batu, maka dianggap bukan makanan.
Ar Roًmaani dalam Al Mishbahul Munir berkata, “Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”
Kemudian disebutkan pula bahwa infus atau injeksi medis ke dalam tubuh juga termasuk makanan, sehingga puasa tidak sah.
Bahkan merokok juga termasuk dalam kategori minum lantaran secara bahasa adalah syarbud dukhon atau minum asap.
Baca juga: Puasa Ramadan Sekaligus Diet, Inilah Daftar 7 Buah untuk Sahur Mulai dari Pisang hingga Plum
- Muntah dengan sengaja
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.”
Muntah yang tidak batal adalah ketika memang gejolak tubuh memaksa kita untuk muntah.
Puasa tidak batal selama tidak ada muntahan yang kembali tertelan dengan sengaja.
- Haid dan nifas
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Jika seorang wanita mendapati haid dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haid atau nifas di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia wajib mengqadha’ puasa pada hari tersebut.”
Wanita yang mengalami haid atau nifas di tengah puasa, maka puasanya batal dan wajib menggantinya setelah Ramadan.
- Bersetubuh dengan sengaja
Bagaimana pun wujud bersetubuh, meski tidak keluar air mani, maka hukumnya membatalkan puasa jika dilakukan dengan sengaja.
- Keluar mani karena bercumbu
Jika seseorang mubasyaroh atau bercumbu secara sengaja, meskipun dengan suami atau istri, maka batal puasanya meski tidak mengeluarkan mani.
Bermasturbasi atau onani juga termasuk membatalkan puasa.
Sedangkan mimpi basah tidak membatalkan puasa karena tidak disengaja.
Konsekuensi Sengaja Membatalkan Puasa
Bagi orang yang batal puasa karena makan dan minum, muntah dengan sengaja, haid dan nifas, hingga keluar mani saat bercumbu, maka wajib mengganti puasa.
Sedangkan mereka yang batal karena bersetubuh ketika puasa, maka wajib mengganti puasa serta membayar kafarah yang dibebankan pada laki-laki.
Kafarah bisa dengan cara memerdekakan satu budak, jika tak bisa maka diganti berpuasa dua bulan berturut-turut.
Jika tak mampu puasa dua bulan, maka bisa memberi makan kepada 60 orang miskin.
Yang Membuat Puasa Sia-sia
Ibadah puasa bisa jadi sia-sia lantaran banyak orang yang hanya mengartikannya sebagai ibadah penahan lapar dan dahaga.
Umat Islam yang menjalankan puasa hendaknya menahan diri dari hal-hal yang diharamkan selama puasa seperti bermaksiat.
Selain itu, Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”
Selain perkataan dusta, perkataan yang kotor dan sia-sia juga membuat ibadah puasa menjadi tak ada nilainya.
(TribunnewsSultra.com/ Ifa Nabila)